tag:blogger.com,1999:blog-76388858066213946762024-02-06T18:18:46.735-08:00Mari Bersilaturahmiislamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.comBlogger15125tag:blogger.com,1999:blog-7638885806621394676.post-82190858285343684362010-06-25T22:43:00.000-07:002010-06-25T22:44:33.799-07:00Kekhawatiran Nabi Muhamad Terhadap UmatnyaNabi muhammad adalah seorang pembawa risalah Alloh yang sangat mencintai umatnya. Sepanjang hidupnya ia dedikasikan untuk menyebarkan risalah Alloh kepada umat manusia, walau dihadapkan pada tantangan, cemoohan dan penderitaan.<br /><br />Alloh SWT menggambarkan sifat dan perjuangan nabi Muhammad dalam QS Attaubah 128:<br /><br />“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. 9:128)<br /><br />Berangkat dari kecintaan beliau yang sangat besar terhadap umatnya, ia menginginkan umatnya senantiasa berada dalam keimanan agar selamat dunia dan akhirat. Untuk itulah, beliau memiliki beberapa kehawatiran yang tidak ingin terjadi kepada umatnya. Karena jika kekhawatiran ini terjadi, niscaya umat itu ada dalam kesesatan dan kecelakaan dunia dan akhirat.<div class="fullpost">Apa sajakah kekhawatiran nabi itu? Jawabannya adalah sebagai berikut:<br /><br />#1. Pemimpin yang menyesatkan (Dholim)<br /><br />Nabi sangat mengkhawatirkan jika umatnya dipimpin oleh pemimpin yang menyesatkan (dholim) . Kenapa? Karena seorang pemimpin adalah lokomotif yang menentukan arah suatu masyarakat. Baik buruknya tatanan masyarakat akan sangat ditentukan oleh pemimpinnya. Islam melarang umatnya memilih musuh Alloh dan musuh orang beriman sebagai pemimpin baginya. Begitu pula orang yang tabiatnya lebih cenderung terhadap kekafiran daripada keimanan.<br />Nabi sangat mengkhawatirkan, jika umatnya dipimpin oleh pemimpin yang dholim (menyesatkan), maka umatnya akan rusak. <br /><br />#2. Riya<br />Nabi berkata, “Yang paling aku takuti terjadi pada umatku, yakni umatku mampu beramal sholeh tetapi terjebak pada syirik kecil”, Shahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan Syirik kecil itu?”, Nabi menjawab, “Riya”.<br /><br />Riya adalah ketika seseorang beramal sholeh, ia ingin dilihat oleh manusia dan ingin mendapat pujian. Saat di akhirat kelak, Alloh menyuruh orang yang berbuat riya untuk minta pahala kepada yang di-riyai-nya. Alloh hanya menginginkan amal yang dilakukan seseorang semata-mata untuk mengharap ridho Alloh, bukan yang lainnya.<br /><br />Sangatlah mudah mengindikasikan apakah perbuatan (ibadah) yang kita lakukan termasuk kategori riya atau tidak. Jika kita semakin bersemangat melakukan ibadah saat ada orang lain yang memuji, dan berhenti saat ada orang menghina, maka berhati-hatilah karena perbuatan itu termasuk kategori riya (manusia oriented). Adapun orang yang ikhlas, ia akan tetap istiqomah menjalankan ibadah, tanpa pengaruh pujian atau hinaan orang lain (Alloh oriented). <br /><br />#3. Perzinahan<br />Saat ini, perzinahan telah merajalela di lingkungan sekitar kita, bahkan telah menjadi trend di kalangan generasi muda. Islam sangat melarang perbuatan zina, bahkan perbuatan yang mendekati perzinahanpun dilarang. Dalam pandangan Islam, perbuatan zina merupakan perbuatan keji, buruk dan merusak tatanan sosial.<br /><br />#4. Munafik yang Pintar Ngomong<br />Kehadiran orang munafiq yang pintar ngomong sangatlah membahayakan. Ia memiliki kemampuan orasi yang meyakinkan sehingga orang takjub dan kagum terhadap apa yang ucapkannya, meskipun ucapan itu hanyalah hiasan bibir belaka. Alloh akan menempatkan orang munafiq di neraka paling dasar. Orang munafiq selalu dusta saat dia berbicara, menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafirannya. Kehadirannya dalam umat hampir tidak kelihatan karena ia bersembunyi dalam kekafiran.<br /><br />#5. Kesesatan Hawa Nafsu<br />Nabi sangat takut jika umatnya berada dalam kesesatan hawa nafsu dan syahwat. Mereka cenderung mengikuti hawa nafsu baik perut maupun kemaluan. Satu satu faktor yang menyebabkan seseorang mengikuti hawa nafsu, ialah meninggalkan sholat.<br /><br />#6. Lalai Meskipun Tahu<br />Adab yang paling keras akan ditimpakan Alloh kepada yang ‘alim tetapi tidak mengamalkan ilmunya.<br /><br />#7. Percaya Dukun dan Mengingkari Takdir<br /><br />Siapa orang yang datang ke orang pintar (dukun), bertanya sesuatu dan mengimani ucapannya, maka sholatnya selama 40 hari tidak diterima. Saat ini, banyak orang islam yang percaya dukun karena ingin naik pangkat, laris usahanya, dan lain sebagainya. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam, sampai-sampai nabi mengkhawatirkan jika hal ini terjadi kepada umatnya.<br /><br />(Dikutip dari pengajian Ahad, 21 Feb 2010, Mesjid Darussalam Kota Wisata)</div>islamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7638885806621394676.post-70703352186387782872010-06-25T21:11:00.000-07:002010-06-25T22:23:16.129-07:00Ciri Profesional Unggul dalam Al-Quran<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQp5gFmoLcg-UqFP4DLIw-FTIELmTxrC8vZAp4jIqcDQSiimKIgRFcDgM2J0Hg-2p_fAXGW5vAll1R3lhRLdqpGnAWcEMoeb-JEW0XBMW8q1RkG20uv8uzpNC8CpqRW2vMu8-N_q83Edw/s1600/al-quran21.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 216px; height: 163px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQp5gFmoLcg-UqFP4DLIw-FTIELmTxrC8vZAp4jIqcDQSiimKIgRFcDgM2J0Hg-2p_fAXGW5vAll1R3lhRLdqpGnAWcEMoeb-JEW0XBMW8q1RkG20uv8uzpNC8CpqRW2vMu8-N_q83Edw/s320/al-quran21.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5486931478207370898" border="0" /></a><br />setiap individu dewasa tentu memiliki profesi hidup sesuai kadar keahlian, pengalaman dan latar belakang pendidikan. Dalam menekuni profesi ini tentunya menginginkan kesuksesan, agar memperoleh kehidupan yang lebih baik . Al-Quran sebagai pegangan hidup setiap muslim, memberikan kiat agar menjadi profesional unggul di bidangnya masing-masing. Jaminannya, tidak hanya sukses di dunia namun juga di akhirat.<div class="fullpost">Alloh SWT menceritakan ciri-ciri pekerja (profesional) yang baik dalam beberapa ayat al-Quran, salah satunya dalam QS al-Qashas 26. Dikisahkan dalam ayat ini, salah seorang putri Syuaib menasehati ayahnya agar menjadikan nabi Musa as sebagai pegawai penggembala kambingnya.<br /><br />“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya“.<br /><br />Dalam ayat ini, Alloh SWT memberikan penjelasan bahwa pekerja yang baik (penggembala kambing) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.<br /><br />Dalam ayat lain, Alloh SWT menceritakan dalam QS Yusuf 55 mengenai permintaan nabi Yusuf as kepada raja, agar ia dijadikan sebagai staff keuangan negara.<br /><br />“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”<br /><br />Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kriteria pekerja yang baik (staff keuangan negara) adalah yang pandai menjaga dan berpengetahuan.<br /><br />Selanjutnya dalam ayat lain, Alloh SWT menceritakan dalam QS al-Baqoroh 247 tentang raja Thalut. Bani Israil meminta diberikan pemimpin perang untuk mengalahkan Djalut. Mereka memiliki paradigma bahwa seorang pemimpin haruslah seorang yang kaya. Namun paradigma itu dibantah nabi.<br /><br />“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab: “bagaimana thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?” (nabi mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.”<br /><br />Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kriteria pemimpin perang yang baik adalah memiliki ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.<br /><br />Dari penjelasan ketiga ayat diatas, kita bisa mengambil benang merah bahwa profesional yang unggul yang dijelaskan dalam al-Quran haruslah memiliki 3 kekuatan yakni kekuaran fisik, kekuatan pengetahuan (knowledge) dan kekuatan attitude (amanah). Ketiga sifat ini haruslah dimiliki secara terintegrasi bukan parsial. Apalah artinya memiliki kecerdasan dan fisik yang baik jika tidak diimbangi dengan sifat amanah. Yang ada, akan mendapatkan kehancuran bagi diri dan lingkungan sekitarnya.<br /><br />Lalu, bagaimana agar kita bisa memperoleh ketiga kekuatan tersebut??<br /><br />Nabi Muhammad saw pernah bersabda “Mukmin yang kuat lebih baik daripada mukmin yang lemah“. Dalam hal ini Nabi memuji seorang mukmin yang kuat dibandingkan mukmin yang lemah. Para ahli menafsirkan bahwa ‘kuat’ yang dimaksud di sini tidak hanya kuat secara fisik namun yang terpenting adalah kuat dalam keyakinan.<br /><br />Ternyata, inilah sifat utama yang harus kita miliki agar bisa menggapai kesuksesan dalam meniti karir profesional. Langkah pertama, pelajarilah keyakinan ajaran islam dengan sungguh-sungguh, agar memiliki Way of Thingking aqidah Islam yang benar. Karena dengan keyakinan yang kuat dan kokoh, secara otomatis akan mendorong ‘kemauan’ yang kuat untuk berbuat sesuatu yang positif. Akhirnya, kekuatan yang lainnya pun akan diperoleh.<br /><br />Fenomena ini sudah dibuktikan sendiri oleh nabi Muhammad selama beliau membina para sahabat. Dengan kekuatan keyakinan, Rosululloh telah mencetak para sahabat yang asalnya ‘gerombolan’ yang tidak teratur di tengah padang pasir, berubah menjadi umat manusia terbaik sepanjang sejarah. Jadilah meraka sebagai komunitas dengan budaya agung yang menguasai sepertiga dunia dalam waktu relatif singkat.<br /><br />Demikianlah al-Quran dan Hadits Nabi memberikan petunjuk bagi mereka yang menginginkan kesuksesan profesional yang hakiki, dunia dan akhirat.<br /><br />(Khutbah Jum’at, 16 April 2010, Mesjid PT. Toyota Astra Motor)</div>islamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7638885806621394676.post-5901694275101842192010-06-25T21:07:00.000-07:002010-06-25T22:23:32.217-07:00Menapaki Jalan Menuju Surga<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFKUl3EAbMpwW6MVXsuuWllmPxXlF8WGZgrP1EvRwb0rWKIOktN2xjke4v0DLgVB5zoxQzEFoXipWyekamRz7teb0fldRpWqvwkG8BX7yzEmHtZKZVbK5KZ-2td9vu-db-xR_3PufSH9w/s1600/jalan-ke-surga.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 174px; height: 132px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFKUl3EAbMpwW6MVXsuuWllmPxXlF8WGZgrP1EvRwb0rWKIOktN2xjke4v0DLgVB5zoxQzEFoXipWyekamRz7teb0fldRpWqvwkG8BX7yzEmHtZKZVbK5KZ-2td9vu-db-xR_3PufSH9w/s320/jalan-ke-surga.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5486929537930747378" border="0" /></a>suatu hari seseorang bertanya kepada rosul, “Wahai rosul, apakah saya bisa masuk SURGA jika saya melakukan sholat lima waktu, berpuasa romadhan, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, serta tidak menambah atau mengurangi ajaranmu?”, rosul menjawab, “YA”.<div class="fullpost">asuk surga merupakan visi hidup jangka panjang setiap muslim. Tiada permohonan yang terungkap dari lubuk dan ucapan setiap muslim selain bisa merasakan nikmat surgawi di akhirat kelak. Rosululloh memberikan sinyal, masuk surga bukanlah sesuatu yang mustahil. Semua orang bisa masuk surga, asalkan ia berpegang teguh di atas jalan yang digariskan Alloh dan rosulnya. Ada banyak kunci yang perlu kita pahami dan amalkan, sebagai syarat meraih kenikmatan surgawi tersebut. Tiga diantaranya adalah sebagai berikut:<br /><br />1. Mengejawantahkan Islam sebagai Rahmat Bagi Seluruh Alam<br /><br />Tujuan utama diturunkannya agama islam ialah memberi rahmat bagi seluruh alam beserta isinya. Ajarannya sedemikian rupa di-design oleh sang creator sesuai dengan fitrah manusia. Islam memberikan haluan berupa perintah dan larangan yang harus ditaati dalam segala aspek kehidupan.<br /><br />Perintah dan larangan ini haruslah dilakukan dengan tegas dan konsistem. Jangan menghalalkan segala yang diharamkan, dan jangan pula mengharamkan atas segala yang dihalalkan. Rosululloh pernah didatangi tiga pemuda yang berikrar mengamalkan ibadah agar bisa masuk surga. Pemuda pertama berjanji tidak akan pernah menikah selama hidupnya, pemuda kedua tidak akan pernah tidur agar bisa melakukan ibadah terus, dan pemuda ketiga akan berpuasa setiap hari. Mendengar ucapan ini, nabi-pun marah, dan mengatakan,”Saya adalah orang yang paling taqwa, dan saya menikah, tidur dan juga makan”.<br /><br />Jadi, pola kehidupan haruslah diselaraskan dengan apa-apa yang dicontohkan rosul dengan baik dan benar. Berhati-hati dengan rayuan syetan yang senantiasa menggiring manusia kepada kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani, sekalipun mereka masuk ke suatu lubang.<br /><br />2. Perlu Membangun Rasa Rindu pada Surga<br /><br />Belajar dari kisah para sahabat, sering kali mereka mengajukan pertanyaan kepada nabi yang bunyinya, “Beritahu kami amalan yang dapat memasukkan ke surga?”. Mereka sangatlah merindukan surga. Pola kehidupannya dibangun dengan amalan-amalan yang dapat memasukkan diri ke surga.<br /><br />Rosulpun kelihatan sekali membangkitkan rasa rindu surga di kalangan para sahabat, dengan memberikan beberapa amalan yang menjadikan pelakunya masuk surga, misalnya Beribadah kepada Alloh dan tidak menyekutukan-Nya, melakukan sholat, zakat, puasa romadhan serta menjaga silaturahmi. Pastikan makanan dan minuman halal , banyak bergaul dengan orang sholeh, duduk di majelis ilmu, membiasakan saling menasehati dalam kebaikan dan kebenaran, serta memperbanyak istigfar.<br /><br />3. Konsisten dan Komitmen<br /><br />Prinsip beribadah di dalam agam islam, bukanlah sekali beramal, namun haruslah dilakukan dengan konsisten atau terus menerus. Meskipun nilai ibadah kecil namun dilakukan dengan konsisten akan lebih baik dibandingkan ibadah yang nilainya besar namun dilakukan sekali. Sedikit tapi terus menerus.<br /><br />(Pengajian Subuh, 22 April 2010, Mesjid Darussalam Kota Wisata, Narasumber: Ust. Mirdas Ekayora Lc)</div>islamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7638885806621394676.post-50832053589824825192010-06-11T20:25:00.000-07:002010-06-11T20:27:05.983-07:00Puasa 'ASYURA & KeutamaanyaKeutamaan Bulan Muharram<br /><br />Pada asalnya hari dan bulan memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala, kecuali yang diistimewakan dari hari dan bulan selainnya berdarkan dalil baik dari al-Qur’an dan as-Sunnah.<br /><br />Dan termasuk bulan yang mulia di antara bulan-bulan yang ada adalah bulan Muharram. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, artinya, “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu, dan perangilah musyrikin semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS. at-Taubah: 36) <div class="fullpost">Dan di dalam hadits yang shahih Rasulullah bersabda, “……….Di adalam satu tahun ada dua belas bulan dan di antaranya terdapat empat bulan yang mulia, tiga di antaranya berturut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, dan Rajab yang berada di antara bulan Jumada dan Sya’ban.” (HR. al-Bukhari, no. 2958 dari Abu Bakrah).<br /><br />Dari ayat dan hadits di atas telah menunjukkan kemuliaan bulan tersebut di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan menemaan Muharram merupakan penguat atas keutamaan yang terkandung di dalamnya.<br /><br />Dan di antara keutamaan yang terkandung di bulan Muharram adalah sebagai berikut:<br /><br />1. Disunnahkan memperbanyak puasa pada bulan Muharram, khususnya berpuasa pada tanggal 10 Muharram (puasa ‘Asyura).<br /><br />Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah al-Muharram.” (HR. Muslim)<br /><br />Dan di dalam hadits yang lain beliau juga bersabda, “Puasa ‘Asyura menghapus kesalahan setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim).<br /><br />Ibnu Abbas berkata, “Tidaklah aku melihat Rasulullah lebih menjaga puasa pada hari yang diutamakannya dari hari yang lain kecuali hari ini, yaitu ‘Asyura.”(Shahih at-Targhib wa at-Tarhib).<br /><br />2. Pada hari 'Asyura merupakan hari-hari Allah, yang pada hari itu al-haq mendapatkan kemenangan atas kebatilan. Orang-orang mukmin yang sedikit mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir yang banyak. Pada hari itu pula Allah menyelamatkan Nabi Musa 'alaihis salam dan kaumnya dari kerajaan Fir'aun, sehingga nabi Musa berpuasa sebagai wujud rasa syukur kepada Allah Ta'ala.Sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas, dia berkata; "Ketika Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam datang di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari 'Asyura, kemudian beliau bertanya: "Hai apa ini?" mereka menjawab: "Ini adalah hari yang baik, pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka berpuasalah nabi Musa 'alaihis salam". Beliau bersabda: "Aku lebih berhak terhadap musa daripada kalian, kemudian beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan -para shahabat- agar berpuasa pada hari itu."(HR. al-Bukhari, no. 1865)<br /><br />Keuatamaan Berpuasa ‘Asyura<br /><br />Puasa pada hari 'Asyura sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum diutusnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan oleh 'Aisyah, "Sesungguhnya orang-orang jahiliyah dahulu berpuasa pada hari itu."<br /><br />Al-Qurthubi berkata, "Kemungkinan kaum Quraisy menyandarkan amalan puasa mereka kepada syari'at orang-orang sebelum mereka, seperti syari'at Nabi Ibrahim."<br /><br />Demikian pula saat di Makkah, sebelum hijrah ke Madinah, beliau Shallallaahu berpuasa pada hari tersebut. Dan ketika beliau hijrah ke Madinah dan mendapati orang-orang Yahudi merayakannya beliaupun bertanya kepada mereka tentang sebabnya, kemudian mereka menjawab sebagaimana yang tersebut di dalam hadits, "Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka berpuasalah Musa 'alaihis salam."(HR. al-Bukhari, no. 1865)<br /><br />Oleh karenanya beliau memerintahkan para sahabat untuk menyelisihi mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari, bahwa Nabi bersabda, ".......Berpuasalah kalian pada hari tersebut."(HR. al-Bukhari dan Muslim)<br /><br />Diperintahkannya puasa ‘Asyura karena didalamnya terkandung sekian keutamaan, sebagaimana yang telah dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, "Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa du bulan Allah al-Muharram." (HR. Muslim, no. 1982)<br /><br />Dalam riwayat yang lain, disebutkan bahwa beliau ditanya tentang puasa di hari 'Asyura, maka beliau menjawab, "Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin." (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Baihaqi dan Abdur Razaq)<br /><br />Imam an-Nawawiy berkata, “Puasa hari ‘Asyura dapat menghapuskan seluruh dosa-dosa kecil selain dosa-dosa besar dan sebagai kafarrah dosa satu tahun.” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz. 6)<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dihapuskan dosa-dosa dengan thaharah, shalat, puasa di bulan Ramadhan, puasa hari ‘Arafah, dan puasa hari ‘Asyura, semuanya untuk dosa-dosa yang kecil.”(Lihat. Al-Fatawa al-Kubra, juz. 5)<br /><br />Ibnu Abbas berkata, "Tidak pernah aku melihat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam begitu bersemangat perpuasa di hari yang beliau utamakan dibandingkan hari yang lain kecuali hari ini, yakni hari 'Asyura, dan bulan ini, yakni bulan Ramadhan." (HR. al-Bukhari, no. 1867)<br /><br />Disukai puasa ‘Asyura (10 Muharram) disertai dengan Tasu’a (9 Muharram) untuk menyelisi orang-orang Yahudi dan Nashrani.<br /><br />Ibnu Abbas berkata, “Ketika Rasulullah berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para shahabat untuk berpuasa, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari tersebut diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani," maka Rasulullah bersabda, “Maka apabila datang tahun depan insya Allah kita berpuasa pada hari ke sembilan.” Ibnu Abbas berkata, “Tidaklah datang tahun berikutnya sampai Rasulullah wafat.”(HR. Muslim, no. 1916)<br /><br />Berkaitan dengan puasa 'Asyura secara khusus, maka ada beberapa cara dalam pelaksanaannya, di antaranya:<br /><br />1. Berpuasa selama tiga hari, 9, 10 dan 11 Muharram.<br /><br />Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas, "Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan sehari setelahnya."<br /><br />Ibnu Hajar di dalam Fath al-Baari, 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut adalah Imam asy-Syaukani (Nail al-Authar, 4/245)<br /><br />Namun maryolitas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati. Sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni dari pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.<br /><br />2. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.<br /><br />Maryolitas hadits menunjukkan cara seperti ini, sebagaimana yang telah tersampaikan di atas.<br /><br />3. Berpuasa dua hari, yaitu pada tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram.<br /><br />Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas, "Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum atau sehari setelahnya."(Hadits shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma'tsurah, asy-Syafi'i, no. 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar, 1/218).<br /><br />Ibnu Rajab berkata, "Dalam sebagian riwayat disebutakan "atau sesudahnya", maka kata "atau" di sini mungkin merupakan keraguan rawi atau memang menunjukkan kebolehan..."(Lihat, Lathaiful Ma'arif, hal. 49)<br /><br />Ar-Rafi' berkata, "Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11 Muharram." (Lihat, at-Talhish al-Habir, 2/213)<br /><br />4. Berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja.<br /><br />Al-Hafidz berkata, "Puasa 'Asyura mempunyai tiga tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan di atasnya ditambah puasa tanggal 9 dan tingkatan berikutnya ditambah puasa tanggal 9 dan 11 Muharram. Wallahu a'lam."<br /><br />Khatimah<br /><br />Demikian pembahasan singkat yang dapat kami sampaikan. Semoga kita dapat memuliakan dan mengagungkan bulan Muharram tersebut sebagaimana Allah telah memuliakannya dengan cara mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya, bukan dengan cara-cara yang tidak ada asal-usulnya dari syari’at sama sekali.<br /><br />Dan akhirnya semoga pembahasan ini bermanfa’t bagi kita semua. Wallahu ‘alamu bish shawab. </div>islamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7638885806621394676.post-48181052714894953632010-06-11T20:15:00.000-07:002010-06-11T20:18:09.916-07:00Semakin Banyak Memberi, Semakin Banyak Menerima<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-3zhH3ItgBAbRX7IqFmSkXtnCLjZJK9sU_edslgIWnybGtfmQxQlsCQvh9y8cHcwKSG0rPA1VLdftuoDE6StgsCYLQ0ev2-1fJv4XaKvjexNHhox91JbT6O8q-vOO2Rcgdy2Pz0Vp5LY/s1600/images.jpeg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 121px; height: 123px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-3zhH3ItgBAbRX7IqFmSkXtnCLjZJK9sU_edslgIWnybGtfmQxQlsCQvh9y8cHcwKSG0rPA1VLdftuoDE6StgsCYLQ0ev2-1fJv4XaKvjexNHhox91JbT6O8q-vOO2Rcgdy2Pz0Vp5LY/s320/images.jpeg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5481720955852520322" border="0" /></a><br />Kisah yang menyentuh, tentang suami istri yang saling mencintai dan saling setia. Mudah2an dapat menjadi renungan dan motivasi bersama di hari ini”<br /><br />“Namaku Linda & aku memiliki sebuah kisah cinta yang memberiku sebuah pelajaran tentangnya. Ini bukanlah sebuah kisah cinta hebat & mengagumkan penuh gairah seperti dalam novel-novel roman, walau begitu menurutku ini adalah kisah yang jauh lebih mengagumkan dari itu semua.<div class="fullpost">Ini adalah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda alhabsyi & ibuku, Yasmine Ghauri. Mereka bertemu disebuah acara resepsi pernikahan & kata ayahku ia jatuh cinta pada pandangan pertama ketika ibuku masuk kedalam ruangan & saat itu ia tahu, inilah wanita yang akan menikah dengannya. Itu menjadi kenyataan & kini mereka telah menikah selama 40 tahun & memiliki tiga orang anak, aku anak tertua, telah menikah & memberikan mereka dua orang cucu.<br /><br />Mereka bahagia & selama bertahun-tahun telah menjadi orang tua yang sangat baik bagi kami, mereka membimbing kami, anak-anaknya dengan penuh cinta kasih & kebijaksanaan.<br /><br />Aku teringat suatu hari ketika aku masih berusia belasan tahun. Saat itu beberapa ibu-ibu tetangga kami mengajak ibuku pergi kepembukaan pasar murah yang mengobral alat-alat kebutuhan rumah tangga. Mereka mengatakan saat pembukaan adalah saat terbaik untuk berbelanja barang obral karena saat itu saat termurah dengan kualitas barang-barang terbaik.<br /><br />Tapi ibuku menolaknya karena ayahku sebentar lagi pulang dari kantor. Kata ibuku,”Mama tak akan pernah meninggalkan papa sendirian”.<br /><br />Hal itu yang selalu dicamkan oleh ibuku kepadaku. Apapun yang terjadi, sebagai seorang wanita aku harus patuh pada suamiku & selalu menemaninya dalam keadaan apapun, baik miskin, kaya, sehat maupun sakit. Seorang wanita harus bisa menjadi teman hidup suaminya. Banyak orang tertawa mendengar hal itu menurut mereka, itu hanya janji pernikahan, omong kosong belaka. Tapi aku tak pernah memperdulikan mereka, aku percaya nasihat ibuku.<br /><br />Sampai suatu hari, bertahun-tahun kemudian, kami mengalami duka, setelah ulang tahun ibuku yang ke-59, ibuku terjatuh di kamar mandi & menjadi lumpuh. Dokter mengatakan kalau saraf tulang belakang ibuku tidak berfungsi lagi, & dia harus menghabiskan sisa hidupnya di tempat tidur.<br /><br />Ayahku, seorang pria yang masih sehat diusianya yang lebih tua, tapi ia tetap merawat ibuku, menyuapinya, bercerita banyak hal padanya, mengatakan padanya kalau ia mencintainya. Ayahku tak pernah meninggalkannya, selama bertahun-tahun, hampir setiap hari ayahku selalu menemaninya, ia masih suka bercanda-canda dengan ibuku. Ayahku pernah mencatkan kuku tangan ibuku, & ketika ibuku bertanya ,”untuk apa kau lakukan itu? Aku sudah sangat tua & jelek sekali”.<br /><br />Ayahku menjawab, “aku ingin kau tetap merasa cantik”. Begitulah pekerjaan ayahku sehari-hari, ia merawat ibuku dengan penuh kelembutan & kasih sayang, para kenalan yang mengenalnya sangat hormat dengannya. Mereka sangat kagum dengan kasih sayang ayahku pada ibuku yang tak pernah pudar.<br /><br />Suatu hari ibu berkata padaku sambil tersenyum,”…kau tahu, Linda. Ayahmu tak akan pernah meninggalkan aku…kau tahu kenapa?” Aku menggeleng & ibuku melanjutkan, “karena aku tak pernah meninggalkannya…”<br /><br />Itulah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda Alhabsyi & ibuku, Yasmine Ghauri, mereka memberikan kami anak-anaknya pelajaran tentang tanggung jawab, kesetiaan, rasa hormat, saling menghargai, kebersamaan, & cinta kasih. Bukan dengan kata-kata, tapi mereka memberikan contoh dari kehidupannya.</div>islamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7638885806621394676.post-39942343225801312872010-06-11T19:58:00.001-07:002010-06-11T20:05:46.600-07:00100 Langkah Menuju Kesempurnaan ImanSemoga Bermanfaat. 100 Langkah Menuju Kesempunaan Iman Bersyukur apabila mendapat nikmat; Sabar apabila mendapat kesulitan; Tawakal apabila mempunyai rencana/program; Ikhlas dalam segala amal perbuatan; Jangan membiarkan hati larut ...<div class="fullpost">100 Langkah Menuju Kesempunaan Iman<br /><br /> 1. Bersyukur apabila mendapat nikmat;<br /> 2. Sabar apabila mendapat kesulitan;<br /> 3. Tawakal apabila mempunyai rencana/program;<br /> 4. Ikhlas dalam segala amal perbuatan;<br /> 5. Jangan membiarkan hati larut dalam kesedihan;<br /> 6. Jangan menyesal atas sesuatu kegagalan;<br /> 7. Jangan putus asa dalam menghadapi kesulitan;<br /> 8. Jangan usil dengan kekayaan orang;<br /> 9. Jangan hasud dan iri atas kesuksesan orang;<br /> 10. Jangan sombong kalau memperoleh kesuksesan;<br /> 11. Jangan tamak kepada harta;<br /> 12. Jangan terlalu ambisius akan sesuatu kedudukan;<br /> 13. Jangan hancur karena kezaliman;<br /> 14. Jangan goyah karena fitnah;<br /> 15. Jangan bekeinginan terlalu tinggi yang melebihi kemampuan diri;<br /> 16. Jangan campuri harta dengan harta yang haram;<br /> 17. Jangan sakiti ayah dan ibu;<br /> 18. jangan usir orang yang meminta-minta;<br /> 19. Jangan sakiti anak yatim;<br /> 20. Jauhkan diri dari dosa-dosa yang besar;<br /> 21. Jangan membiasakan diri melakukan dosa-dosa kecil;<br /> 22. Banyak berkunjung ke rumah Allah (masjid);<br /> 23. Lakukan shalat dengan ikhlas dan khusyu;<br /> 24. Lakukan shalat fardhu di awal waktu, berjamaah dan di masjid;<br /> 25. Biasakan shalat malam;<br /> 26. Perbanyak dzikir dan do’a kepada Allah;<br /> 27. Lakukan puasa wajib dan puasa sunat;<br /> 28. Sayangi dan santuni fakir miskin;<br /> 29. Jangan ada rasa takut kecuali hanya kepada Allah;<br /> 30. Jangan marah berlebih-lebihan;<br /> 31. Cintailah seseorang dengan tidak berlebih-lebihan;<br /> 32. Bersatulah karena Allah dan berpisahlah karena Allah;<br /> 33. Berlatihlah konsentrasi pikiran;<br /> 34. Penuhi janji apabila telah diikrarkan dan mintalah maaf apabila karena sesuatu sebab tidak dapat dipenuhi;<br /> 35. Jangan mempunyai musuh, kecuali dengan iblis/syetan;<br /> 36. Jangan percaya ramalan manusia;<br /> 37. Jangan terlampau takut miskin;<br /> 38. Hormatilah setiap orang;<br /> 39. Jangan terlampau takut kepada manusia;<br /> 40. Jangan sombong, takabur dan besar kepala;<br /> 41. Bersihkan harta dari hak-hak orang lain;<br /> 42. Berlakulah adil dalam segala urusan;<br /> 43. Biasakan istighfar dan taubat kepada Allah;<br /> 44. Bersihkan rumah dari patung-patung berhala;<br /> 45. Hiasi rumah dengan bacaan Al-Quran;<br /> 46. Perbanyak silaturahmi;<br /> 47. Tutup aurat sesuai dengan petunjuk Islam;<br /> 48. Bicaralah secukupnya;<br /> 49. Beristri/bersuami kalau sudah siap segala-galanya;<br /> 50. Hargai waktu, disiplin waktu dan manfaatkan waktu;<br /> 51. Biasakan hidup bersih, tertib dan teratur;<br /> 52. Jauhkan diri dari penyakit-penyakit bathin;<br /> 53. Sediakan waktu untuk santai dengan keluarga;<br /> 54. Makanlah secukupnya tidak kekurangan dan tidak berlebihan;<br /> 55. Hormatilah kepada guru dan ulama;<br /> 56. Sering-sering bershalawat kepada nabi;<br /> 57. Cintai keluarga Nabi saw;<br /> 58. Jangan terlalu banyak hutang;<br /> 59. Jangan terlampau mudah berjanji;<br /> 60. Selalu ingat akan saat kematian dan sadar bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan sementara;<br /> 61. Jauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat seperti mengobrol yang tidak berguna;<br /> 62. Bergaullah dengan orang-orang shaleh;<br /> 63. Sering bangun di penghujung malam, berdoa dan beristighfar;<br /> 64. Lakukan ibadah haji dan umrah apabila sudah mampu;<br /> 65. Maafkan orang lain yang berbuat salah kepada kita;<br /> 66. Jangan dendam dan jangan ada keinginan membalas kejahatan dengan kejahatan lagi;<br /> 67. Jangan membenci seseorang karena paham dan pendirian;<br /> 68. Jangan benci kepada orang yang membenci kita;<br /> 69. Berlatih untuk berterus terang dalam menentukan sesuai pilihan;<br /> 70. Ringankan beban orang lain dan tolonglah mereka yang mendapatkan kesulitan;<br /> 71. Jangan melukai hati orang lain;<br /> 72. Jangan membiasakan berkata dusta;<br /> 73. Berlakulah adil, walaupun kita sendiri akan mendapatkan kerugian;<br /> 74. Jagalah amanah dengan penuh tanggung jawab;<br /> 75. Laksanakan segala tugas dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan;<br /> 76. Hormati orang lain yang lebih tua dari kita;<br /> 77. Jangan membuka aib orang lain;<br /> 78. Lihatlah orang yang lebih miskin daripada kita, lihat pula orang yang lebih berprestasi dari kita;<br /> 79. Ambilah pelajaran dari pengalaman orang-orang arif dan bijaksana;<br /> 80. Sediakan waktu untuk merenung apa-apa yang sudah dilakukan;<br /> 81. Jangan minder karena miskin dan jangan sombong karena kaya;<br /> 82. Jadilah manusia yang selalu bermanfaat untuk agama dan umat manusia;<br /> 83. Kenali kekurangan diri dan kenali pula kelebihan orang lain;<br /> 84. jangan membuat orang lain menderita dan sengsara;<br /> 85. Berkatalah yang baik-baik atau tidak berkata apa-apa;<br /> 86. Hargai prestasi dan pemberian orang;<br /> 87. Jangan habiskan waktu untuk sekedar hiburan dan kesenangan;<br /> 88. Akrablah dengan setiap orang, walaupun yang bersangkutan tidak menyenangkan;<br /> 89. Sediakan waktu untuk berolahraga yang sesuai dengan norma-norma agama dan kondisi diri kita;<br /> 90. Jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan fisik atau mental kita menjadi terganggu;<br /> 91. Ikutilah nasihat orang-orang yang arif dan bijaksana;<br /> 92. Pandai-pandailah untuk melupakan kesalahan orang dan pandai-pandailah untuk melupakan jasa kita;<br /> 93. Jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain terganggu, dan jangan berkata sesuatu yang dapat menyebabkan orang lain terhina;<br /> 94. Jangan cepat percaya kepada berita jelek yang menyangkut teman kita, sebelum dicek kebenarannya;<br /> 95. Jangan menunda-nunda pelaksanaan tugas dan kewajiban;<br /> 96. Sambutlah uluran tangan setiap orang dengan penuh keakraban dan keramahan dan tidak berlebihan;<br /> 97. Jangan memforsir diri untuk melakukan sesuatu yang di luar kemampuan diri;<br /> 98. Waspadalah akan setiap ujian, cobaan, godaan dan tantangan. Jangan lari dari kenyataan kehidupan;<br /> 99. Yakinlah bahwa setiap kebajikan akan melahirkan kebaikan dan setiap kejahatan akan melahirkan kerusakan;<br /> 100. Jangan sukses di atas penderitaan orang dan jangan kaya dengan memiskinkan orang;<br /></div>islamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7638885806621394676.post-67973712379681814442010-02-16T10:27:00.001-08:002010-02-16T10:27:57.335-08:00Apakah sunnah bagi laki-laki memanjangkan rambutnya?Pendahuluan:<br />Makalah ini diambil dari rubrik tanya jawab Syeikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani ?rahimahullah- dari Majalah As-Asholah, edisi ke-12, tgl, 15 ?Shofar- 1415H, hal : 54. Rubrik ini diawali dengan bahasan seorang penuntut ilmu tentang hukum botak, kemudian Syeikh Al-Albani menanggapi bahasan tersebut, dan menerangkan hukum memanjangkan rambut, adapun judul bukan dari judul asli tapi judul dari penerjemah - pent.<div class="fullpost">si dari Makalah:<br />Seorang dari kalangan penuntut ilmu bertanya :<br />Kebanyakan dari para pelajar sekolah bertanya-tanya, tentang hukum meninggalkan (memanjangkan) rambut kepala dan hukum membotakannya. Permasalahan ini menjadi kabur bagi mereka ; antara apa yang diperintahkan dan ditekankan oleh (peraturan) sekolah kepada mereka, berupa kewajiban membotak rambut kepala atau mencukur terlalu pendek (cepak), dan antara apa yang mereka lihat dari sebagian guru-guru yang konsisten dalam beragama, - kita tidak mensucikan diri seseorang melebihi tazkiah Allah ? membiarkan rambut kepala mereka (hingga panjang), tanpa dipotong. Guru-guru tersebut selalu membersihkan dan menyisirnya. Mereka sudah terbiasa membiarkannya (panjang).<br /><br />Maka saya mengatakan (penulis makalah), - dengan memohon pertolongan kepada Allah - : Sesungguhnya memanjangkan rambut adalah sunnah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad ? rahimahullah taala - : memanjangkan rambut itu adalah sunnah, seandainya kita mampu pasti kita sudah memanjangkannya. Akan tetapi hal ini butuh beban dan perhatian. Ibnu Qayim dalam kitabnya (Zadul Maad) berkata: Rasulullah tidak diketahui membotak kepala , kecuali dalam ibadah (haji dan umrah).<br /><br />Sesungguhnya sudah datang hadits-hadits shohih yang menerangkan akan sifat (model) rambut Rasulullah ? Alaihi as-sholatu was-sallam - . Di dalam kitab (Al-Mughni), dikatakan; Dan rambut manusia itu disukai seperti model rambut Nabi ?Sholallahu alaihi wa sallam - , apabila panjang sampai ke bahu, dan apabila pendek sampai ke cuping telinganya. Kalau dipanjangkan tidak apa-apa. Imam Ahmad telah menyatakan seperti itu.<br /><br />Saya mengatakan (penulis makalah) : sesungguhnya memanjangkan rambut itu mesti mempunyai beberapa hal yang harus diperhatikan, di antaranya :<br /><br />1.Ikhlas karena Allah Taala, dan mengikuti petunjuk Rasul, supaya mendapatkan balasan dan pahala.<br /><br />2.Dalam memanjangkan rambut tersebut, hendaknya tidak menyerupai wanita, sehingga dia melakukan apa yang dilakukan wanita terhadap rambutnya, dari jenis dandanan yang khusus bagi wanita.<br /><br />3.Dia tidak bermaksud untuk menyerupai ahli kitab ( kristen dan yahudi), atau penyembah berhala, atau orang-orang yang bermaksiat dari kalangan muslimin seperti seniman-seniman dan artis (panyanyi dan pemain film), atau orang-orang yang mengikuti langkah mereka, seperti bintang olah raga, dalam model potongan rambut mereka serta dandanannya.<br /><br />4.Membersihkan rambut,dan menyisirnya sekali dua hari. Dianjurkan memakai minyak dan wangi-wangian serta membelahnya dari pertengahan kepala. Apabila rambutnya panjang dia menjadikannya berkepang-kepang.<br /><br />Adapun botak, Syeikh Ibnu Taimiyah telah membahas secara terperinci. Dia membagi pembahasannya menjadi empat bagian. Ringkasan pembahasannya (secara bebas ) :<br /><br />Apabila botak itu karena melaksanakan haji, umrah, atau untuk kebutuhan seperti berobat, maka hal ini sudah konsisten dan disyariatkan, berdasarkan Al-Kitab (Al-Quran) dan Sunnah, bahkan tidak ada keraguan dalam pembolehannya.<br /><br />Adapun selain itu, maka hal tersebut tidak akan keluar dari salah satu, dari dua permasalahan :<br /><br />Pertama: Dia membotaknya berdasarkan (beranggapan botak itu) adalah ibadah, (cermin) keagamaan, atau kezuhudan, bukan karena haji atau umrah. Seperti orang menjadikannya botak itu sebagai simbol dari ahli ibadah (orang yang banyak ibadahnya) dan ahli agama. Atau dia menjadikannya sebagai simbol kesempurnaan zuhud dan ibadah. Maka dalam hal ini, Syeikh Islam telah berkata: Membotak kepala adalah bidah yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan bukan pula hal yang wajib atau disukai oleh seorang pun dari pemimpin-pemimpin agama. Tidak pernah diperbuat oleh salah seorang dari shohabat-shohabat dan pengikut mereka dengan baik. Juga tidak pernah dilakukan oleh syeikh-syeikh kaum muslimin yang terkenal dengan kezuhudan dan ibadah; baik (mereka) itu dari kalangan shohabat, tabiin, dan tabi tabiin serta orang-orang sesudah mereka.<br /><br />Kedua: Dia membotakkan kepala bukan pada saat ibadah haji atau umrah, dan bukan karena kebutuhan ( berobat ), serta bukan juga atas dasar mendekatkan ( diri kepada Allah ) dan ritual, dalam masalah ini ulama mempunyai dua pendapat :<br /><br />Pendapat yang pertama: Karahiyah (dibenci).<br />Pendapat ini adalah mazhab Malik, dan lainnya. Juga salah satu riwayat dari Ahmad. Beliau berkata : Mereka ( ulama ) membenci hal itu ( botak tanpa sebab ). Hujjah orang yang berpendapat dengan pendapat ini adalah bahwa membotakkan kepala adalah syiar (simbol ) Ahli bidah ( khawarij ). Karena khawarij membotakkan kepala mereka. Sungguh Nabi ? shollallahu alaihi wa sallam ? telah bersabda tentang mereka : Ciri-ciri mereka adalah botak . Sebagaimana sebagian orang khawarij menganggab botak kepala itu merupakan bagian dari kesempurnaan taubat dan ibadah. Di dalam kitab shohih Bukhori dan Muslim disebutkan : sesungguhnya tatkala Nabi - shollallahu alaihi wa sallam ? membagi (harta rampasan perang ) pada tahun fath ( pembebasan Mekah ), dia didatangi seorang laki-laki yang jenggotnya lebat lagi ( kapalanya ) botak. Di dalam musnad Imam Ahmad diriwayatkan dari Nabi ? Shollallahu alaihi wa sallam ? Bukan dari golongan kami orang yang membotak kepala . Ibnu Abbas berkata : Orang membotakkan kepalanya di seluruh negeri adalah syaitan .<br /><br />Pendapat yang kedua: Mubah ( dibolehkan membotakkan kepala ). Pendapat ini terkenal di kalangan pengikut Abu Hanifah dan Syafii. Juga merupakan riwayat dari Ahmad.<br /><br />Dalil mereka adalah, apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Nasai, dengan sanad yang shohih ? sebagaimana yang dikatakan oleh pengarang kitab Al- Muntaqo ? dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi ? shollallahu alaihi wa sallam ? melihat seorang anak ( bayi ) sebagian kapalanya sudah dibotak dan sebagian yang lain ditanggalkan ( tidak dibotak ), maka dia melarang dari perbuatan tersebut, lantas bersabda Cukurlah keseluruhannya ( botak merata ) atau biarkan keseluruhannya ( tidak dicukur sama sekali ). Dan ( juga ) dihadapkan kepada baliau ? shollallahu alaihi wa sallam ? anak-anak yang kecil setelah tiga ( hari dari kelahirannya ? pent ) lalu membotakkan kepala mereka.<br /><br />Dan karena dia ? shollallahu alaihi wa sallam ? melarang dari Qaza. Qaza itu adalah membotak sebagian ( kepala ). Maka hal ini menunjukkan bolehnya membotak secara keseluruhan. Syaukani ? rahimahullah ? berkata di dalam kitab Nail Authoor di waktu dia berbicara tentang hadits yang dicantumkan oleh pengarang Al-Muntaqo tadi : Di dalam hadits tadi terdapat dalil bolehnya membotakkan kepala secara keseluruhannya. Ghazali berkata, Tidak apa-apa ( membotakkan kepala ) bagi siapa menginginkan kebersihan. Dan di dalam hadits itu ( juga ) terdapat bantahan kepada orang yang membencinya ( botak ).<br /><br />Di dalam kitab Al-mughni disebutkan : Hanbal berkata : Aku dan bapakku membotak kepala kami, semasa hidup Abu Abdillah ( Imam Ahmad ), lantas dia melihat kami dan tidak melarang kami. Ibnu Abdul Barri berkata : sungguh ulama telah sepakat (ijma) atas bolehnya botak dan ini cukup dijadikan sebagai hujjah.<br /><br />Saya mengatakan ( penulis makalah ) ? wabillahi at-taufiq - : pendapat yang kedua ini yang kuat bagiku, karena keshohihan dan terang ( jelas ) riwayat-riwayatnya, wallahu alam.<br /><br />Adapun peraturan sekolah untuk melarang semua pelajar memanjangkan rambut kepala, maka peraturan ini hanya merupakan tindakkan menutup celah ( perantara kejelekan ) dan menolak kerusakkan. Hal itu disebabkan apa yang dilihat sekolah dari sekolompok pelajar -yang tidak sedikit- mereka memanjangkan rambut bukan karena sunnah, tetapi karena meniru dan mencotoh orang - orang tenar dari kalangan seniman yang tak tahu malu, serta bintang olahraga, baik dari kaum muslimin atau lainnya, dengan membentuk rambut kepala seperti model rambut orang-orang tenar tersebut, sebagai ungkapan cinta dan kagum terhadap corak kehidupan mereka.<br /><br />Bahaya-bahaya pelajar yang mencontoh ini, tidak hanya sebatas diri mereka sendiri, malahan akan menjalar ke teman-teman mereka di sekolah. Karena mereka terpengaruh oleh tingkah laku yang arogan ini, sehingga menyebabkan hanyutnya jiwa-jiwa yang lemah dari para pelajar, terutama dari pantaran mereka. Apalagi pada umur ini, mereka dikalahkan oleh kelabilan mereka dalam pergaulan, serta keinginan yang banyak. Juga karena terlalu cepat terpengaruh, serta tergesa-gesa mengambil keputusan. Maka anda akan menemukan seorang pelajar pada umur ini (masa ini ) lebih banyak terpengaruh oleh temannya di sekolah ketimbang dari guru-gurunya atau orang tuanya sekalipun. Wallahu alam.<br /><br /><br />Jawaban (komentar Syeikh Al-Albani terhadap makalah diatas).<br /><br />Segala puji bagi Allah dan sholawat dan salam atas Rasulullah, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya, serta orang yang mengikuti petunjuknya.<br /><br />Amma badu : Sesungguhnya saya menyokong dengan sokongan yang kuat, akan nas (penyataan) yang disebutkan di penghujung fatwa ini (makalah di atas). Karena pernyataan tersebut bersandarkan kepada kaidah syariyah yang penting, yaitu : menolak kerusakkan (kerugian ) sebelum ( lebih didahulukan dari pada ) mengambil kemashlahatan ( keuntungan ). Apalagi jika di sana tidak ada suatu mashlahat pun, kecuali mencontoh orang-orang kafir atau orang-orang fasiq ?. Sungguh Nabi ? shollallahu alaihi wa sallam ? telah bersabda dalam hadits yang shohih :<br /><br />Artinya : barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia itu dari golongan mereka<br />Dan terdapat hadits-hadits yang banyak yang semakna dengan hadits ini, di bermacam-macam bab ( sub bahasan ) di dalam syariat Islam. Saya telah sebutkan di antaranya kira-kira 40 hadits di dalam kitab saya Hijabul- Mar-ah Muslimah ( Hijab Wanita Muslimah ) yang belakangan saya cetak dengan judul Jilbaabul ? Mar-ah Muslimah (Jilbab Wanita Muslimah). Oleh karena itu saya selalu berfatwa bahwasanya tidak boleh bagi pemuda-pemuda dan para pelajar untuk membiarkan (memanjangkan) rambut kepala mereka. Tetapi mereka harus membotak atau memendekkannya. Sebagaimana yang diperbuat kebanyakan muslimin. Wa billahit ? taufiq.<br /><br />Tidak ada lagi bagi seseorang pun, untuk mengatakan pada zaman sekarang, bahwa membotak itu hukumnya makruh. Karena tidak ada dalilnya kecuali hal tersebut merupakan simbol kaum khawarij. Sedangkan mereka sekarang pun ? di antaranya Ibadhiyah ? tidak berpegang teguh lagi ( tidak mewajibkan ), sebatas yang saya ketahui. Apabila mereka ditemukan pada suatu negeri berpegang teguh dengan simbol ini (botak), maka penduduk negeri itu wajib untuk menyelisihi mereka ? berdasarkan dalil di atas (larangan menyerupai suatu kaum)- . Apabila tidak ada, maka pada dasarnya (hukum botak itu) boleh. Sesuai dengan hadits Ibnu Umar yang dishohihkan di kitab Al-Muntaqa . Sebenarnya pengarang lupa bahwa hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Muslim . Sebagaimana yang telah saya takhrij di kitab Al-Ahaadits As-Shohihah (1123).<br /><br />Adapun hadits : (laisa minna man halaq ), maka hadits ini potongan dari hadits Abu Musa Al-Asyary dengan lafal: (laisa minna man halaqa wa kaharaqa wa salaqa )<br /><br />Artinya: Bukanlah dari golongan kami orang yang membotak, merobek dan mengangkat suara.<br /><br />Demikianlah yang diriwayatkan oleh sekolompok imam-imam, di antaranya; Imam Ahmad di Musnadnya ( 4 / 411 ), dan demikian juga di Shohihain (Bukhari Muslim). Imam Bukhari manyantumkan satu judul bab di kitabnya As-Shohih dengan judul : Bab Larangan Membotak Karena Ditimpa Musibah . Oleh karena itu, maka hadits ini khusus terhadap orang membotak untuk menyatakan kesedihannya, sehubungan dengan kematian karib kerabatnya. Perbuatan ini mengandung protes (tidak ridho ) terhadap keputusan Allah Taala dengan dalil perkataan beliau : ( wa Kharaqa ) merobek kain, dan juga perkataannya : (wa salaqa ) yakni ; mengangkat suara dalam meratapi mayat.<br /><br />Makna ini diperkuat lagi, sehubungan Abu Musa meriwayatkan hadits ini di waktu sakit ( yang menyebabkan ) kematiannya, seperti yang terdapat di Shohihain (Bukhari-Muslim). Hadits ini juga ditakhrij di kitab Al-Irwa ( no : 771 ) dan di kitab Ahkamul ? Janaaiz. Adapun perkataan Ibnu Abbas yang disebutkan di fatwa tadi, saya tidak menemukan sanadnya. Saya tidak mengiranya shohih. Apabila shohih, perkataan itu diarahkan kepada ( perbuatan ) menyerupai Khawarij, sebagaimana yang telah berlalu ( hukum menyerupai khawarij, pent ).<br /><br />Adapun pendapat yang mengatakan memanjangkan rambut kepala itu (hukumnya) sunnah, maka tidak ada dalil yang bisa dijadikan hujjah. Hadits yang shohih dari Rasulullah ? shollallahu alaihi wa sallam ? dalam hal itu (bahwa beliau memanjangkan rambut ), tidak cukup dijadikan sebagai dalil ( bahwa rambut panjang itu sunnah ). Sebab memanjangkan rambut itu merupakan adat kebiasaan. Sungguh sudah shohih juga hadits yang mengatakan, bahwa beliau ? shollallahu alaihi wa sallam ? masuk ke Makkah, sedangkan (di waktu itu ) dia mempunyai empat ghadair,seperti yang terdapat di dalam kitab saya Mukhtashor Syamail Muhammadiyah (35/23). Ghadair itu artinya : rambut panjang dijalin atau berkepang-kepang.<br /><br />Menjalin rambut panjang itu, semata-mata adat kebiasaan orang Arab. Sebagian mereka masih melakukannya di sebagian padang pasir ( sebagian orang Badui ). Maka apakah dikatakan juga, mengepang rambut panjang itu sunnah ?! Sungguh sama sekali tidak? Oleh karena itu, pada adat-adat kebiasaan seperti ini harus ada dalil yang khusus memperkuat bahwasanya adat-adat kebiasaan itu adalah sunnah ibadah. Bagaimana, sedangkan Nabi ? shollallahu alaihi wa sallam ? sungguh telah menyamakan (hukumnya), antara membotak dan membiarkannya di dalam sabda beliau :<br />Uhluquuhu kullahu au dzaruuhu kullahu<br />Artinya : Botakkanlah seluruhnya atau biarkan seluruhnya. Bahkan beliau membotak kepala tiga anak kecil setelah tiga ( hari ), seperti yang disebutkan di fatwa tadi ( makalah di atas ). Pernyataan tersebut merupakan hadits shohih juga, saya telah mentakhrijnya di kitab saya Ahkamul Janaaiz Wa bidauha hal : 166.<br /><br />Oleh karena itu tidak ada bagi seorang pun dari kalangan pemuda yang ditimpa penyakit suka menyerupai ( mencontoh ) orang-orang kafir dan fasiq, pada rambut mereka, untuk bertamengkan sunnah. Sesungguhnya hal tersebut adalah sunnah adat kebiasaan, bukan sunnah ibadah. Apalagi kebanyakan dari mereka tidak mencontoh Nabi ? shollallahu alaihi wa sallam ? pada apa yang diwajibkan kepada mereka, seperti menggunting kumis dan memelihara jenggot.<br />Artinya : Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya (Suart : 50, ayat : 37 ).<br /><br /><br /></div>islamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7638885806621394676.post-10195789606528427102010-02-16T10:20:00.000-08:002010-02-16T10:33:33.512-08:00Beberapa Cara Shalat Malam<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7wqoyuxf1S6Zeq4UmLc9OCE-wNNuSSSiz8UWPNMfHfOaaZKq7-7uPoM5amwn7MOujBHQy6RR5zNzVhuMy-to91KLQBAu-_5LYOkoWwSaoUPsoHAwvfdcDP7fLOmEYNKqvs_paBfuBikY/s1600-h/shalat-2.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 110px; height: 175px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7wqoyuxf1S6Zeq4UmLc9OCE-wNNuSSSiz8UWPNMfHfOaaZKq7-7uPoM5amwn7MOujBHQy6RR5zNzVhuMy-to91KLQBAu-_5LYOkoWwSaoUPsoHAwvfdcDP7fLOmEYNKqvs_paBfuBikY/s320/shalat-2.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5438910509395059346" border="0" /></a><br />Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam<br /><br />Untuk melengkapi pembahasan ini kami nukilkan keterangan Syaikh Al-Albani (terjemahan) yang berjudul Kelemahan Riwayat Tarawih 20 Rakaat, penerbit DATANS, Bangil (pen.)<br /><br />Dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir lengkap berbagai cara:<br /><div class="fullpost">1. Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan.<br /><br />Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat:<br /><br />A. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: Aku perhatikan shalat malam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan, kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat.(Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)<br /><br />B. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku seakan-akan beliau memegang telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur’an pada kedua rakaat itu, kemudian beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang. (HR. Abu Dawud dan Abu ‘Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain)<br /><br />Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu Abbas tidak menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah.<br /><br />C. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat delapan kemudian berwitir.<br /><br />Pada lafadh lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya, kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak dan air wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat-rakaat itu, kemudian berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat dua rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu Qul ya ayyuhal kafirun dan Idza zulzilat.<br /><br />Penjelasan.<br />Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama dari lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah 1/304, semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an, tetapi Nasai meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa perkataannya di lafadh yang pertama kemudian ia berwitir maksudnya tiga rakaat. Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul perbedaan jumlah rakaat antara riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.<br /><br />Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua rakaat yang ringan setelah shalat Isya’nya, tetapi tidak menyebutkan adanya shalat ba’diyah Isya. Ini mendukung kesimpulan penulis di uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu adalah sunah ba`diyah Isya.<br /><br /><br />2. Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat) ditambah lima rakaat witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir.<br /><br />Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan.<br /><br />Penjelasan<br />Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu Awanah II:325, Abu Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371, Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla III:42-43.<br /><br />Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi’i 1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja.<br /><br />Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih.<br /><br />Kalau kita lihat sepintas lalu, seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan dengan riwayat Aisyah yang membatas bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas rakaat, sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat + 2 rakaat qabliyah Shubuh.<br /><br />Tetapi sebenarnya kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama’ seperti pad uraian yang lalu.<br /><br />Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat ba’diyah Isya.<br /><br />3. Shalat 11 rakaat dengan memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir 1 rakaat.<br /><br />Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang menamakan shalat ‘atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang membaca 50 ayat sebelum mengangkat kepalanya.<br /><br />Penjelasan:<br />Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209; Thahawi I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas.<br />Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka sabdanya: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau seseorang daripada kamu khawatir masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat yang ia telah kerjakan.<br /><br />Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385, MuslimII:172. Ia menambahkan (Abu Awanah): Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat.<br /><br />4. Shalat 11 rakaat yaitu dengan 4 rakaat satu salam, empat rakaat salam lagi, kemudian tiga rakaat.<br /><br />Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Menurut dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak memberi salam, demikianlah penafsiran Imam Nawawi.<br /><br />Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam beberapa hadits dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah, demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi.<br /><br />5. Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang belaiu tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian memberi salam.<br /><br />Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa’ad bin Hisyam bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan kepadanya tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan tanya kepadanya: Maka aku pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang kesembilan, kemudian belaiu duduk dan mengingat Allah dan memujinya (attahiyat) dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian shalat dua rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam keadaan duduk, maka yang demikian jumlahnya sebelas wahai anakku, maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menjadi gemuk, beliau berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat sebagaimana yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan rakaat wahai anakku.<br /><br />Penjelasan<br />Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud I:210-211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan Ahmad VI:53,54,168.<br /><br />6. Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk (attahiyat) kecuali pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk.<br /><br /><br />Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah disebutkan pada cara yang kelima.<br />Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan rasulullah, cara yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat. Adapun kurang dari jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian memang dibolehkan, bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya yang lalu:<br />....Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin a boleh berwitir dengan satu rakaat.<br /><br />Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah saatu dari rakaat-rakaat tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk berwitir kurang dari 7 rakaat.<br /><br />Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara:<br />a. Dengan sekali duduk dan sekali salam<br />b. Duduk attahiyat setiap dua rakaat<br />c. Memberi salam setiap dua rakaat<br /><br />Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman 119 mengatakan:<br />Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah Sabbihisma Rabbikal A’la dan pada rakaat kedua membaca surah Al-Kafirun, dan bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan cara-cara yang telah diuraikan terdahulu.<br /><br />Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.<br /><br />Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat, tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahw beliau berwitir tiga rakaat dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.<br /><br />Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat (kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat.<br /><br />Sedangkan hadits Ubai bin Ka’ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya salam kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna), ternyata tambahan ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-Taqrib dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba’ah (hadits lain yang mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa’id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut. Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.<br /><br />Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam kecuali pada rakaat yang terakhir dan ittiba’ kepada mereka ini lebih baik baik daripada mengerjakan yang tidak dicontohkan.<br /><br />Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa terdapat banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat ataupun tabi’in yaang menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya: Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi hendaklah engkau berwitir lima rakaat (HR. Al-Baihaqi).<br />Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya, tapi Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang shahih. Adapun maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka yang demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik oleh Shan’aani dalam Subulus Salam II:8.<br /><br />Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang disebutkan di atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga rakaat dengan dua kali tasyahhud tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahkan yang demikian tidak luput dari kesalaahan, oleh karenanya kami memilih untuk tidak duduk di rakaat genap (kedua), kalau duduk berarti memberi salaam, dan cara ini adalah yang lebih utama<br /><br /><br /><br /></div>islamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7638885806621394676.post-64211073239643952562010-02-16T10:01:00.003-08:002010-02-16T10:33:11.676-08:00Ketika Ibadah Terasa Hambar<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpl1SwavVNYOZXKOae7tyRdAvXByeZDdjpLJMslkm_vgDpmRIoapTHj2OG-bkGhx_nd3ewvxP63ywbVEv4Si5xcUTIvKI3W0OZqA3sG8vl1zaXXo8eXxmYjLJscswHx_D0QOkBsPu6X6c/s1600-h/shalat1.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 221px; height: 155px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpl1SwavVNYOZXKOae7tyRdAvXByeZDdjpLJMslkm_vgDpmRIoapTHj2OG-bkGhx_nd3ewvxP63ywbVEv4Si5xcUTIvKI3W0OZqA3sG8vl1zaXXo8eXxmYjLJscswHx_D0QOkBsPu6X6c/s320/shalat1.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5438910756335610626" border="0" /></a><br />Mungkin sebagian kita pernah merasakan ketika melakukan ibadah terasa hambar, padahal seharusnya ibadah adalah suatu kenikmatan bagi seorang muslim.<br /><br />Syaikh Al-bany dalam muqodimah kitab Shifat Shalat Nabi, belia berkata<br /><br />Segala puji bagi Allah yang telah memfardhukan shalat atas hamba-hamba-Nya, dan memerintahkan untuk menegakannya dengan cara membaguskan pelaksanaanya, dan menggantungkan keselamatan dan kesuksesan pada kekhusyuan shalat.<div class="fullpost">Subhanalllah.., sebagian orang mungkin menganggap bahwa kewajiban shalat merupakan beban, tetapi dikatakan oleh Syaikh Al-Bany sebagai sebagai sesuatu yang perlu disyukuri, hal ini karena ibadah tersebut kembalinya untuk kemaslahatan sang hamba.<br /><br />Ibadah terasa hambar merupakan tanda sakitnya qolbu seseorang, nah , kalau sudah begini, apa yang harus dilakukan? Apakah meninggalkan ibadah-ibadah yang terasa hambar, toh terasa hambar, tidak nikmat?<br /><br />Dalam kajian beberapa waktu yang lalu, seorang ustadz menasehatkan bahwa ketika seseoarnag melakukan ibadah tetapi terasa hambar, tidak nikmat, maka yang seharusnya adalah dengan terus mengerjakannya, bukan kemudian ditinggalkaan, yang dengan terus menerusnya kemudian iman berangsur-angsur naik dan kemudian dapat merasakan lezatnya ibadah. Terasa hambarnya ibadah, itu tanda bahwa qolbunya sakit. Sebagaimana badan yang sakit, walaupun diberi makanan yang enak-enak, tetap saja tidak selera makan, tidak dapat merasakan lezatnya makanan tersebut. Terasa tidak lezatnya makanan tersebut bukan karena makanannya yang nggak “mak nyuss”, tetapi memang badannnya yang sedang nggak beres, nah kalau kondisinya demikian, apakah mending tidak usah makan saja? Kalau tidak makan, justru bisa mengakibatkan sakitnya tambah parah, yang harus dilakukan adalah tetap makan walaupun tidak terasa lezat, lama kelamaan kondisi tubuhnya membaik dan kemudian dapat merasakan lezatnya makanan tersebut.<br /><br />Jika seseorang berbuat dosa, maka akan timbul titik hitam dalam qalbunya, jika berbuat dosa lagi maka bertambahlah titik hitam tersebut. Jika dia bertaubat maka hilanglah titik hitam tersebut.<br /><br />Jika seseorang beramal shalih, maka itu juga akan menghapus kejelekan-kejelekannya<br /><br />Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk (Huud: 114)<br /><br />Maka, jika kita banyak beramal shalih, maka semakin bersih qalbu kita sehingga kenikmatan ibadah insyaAllah akan dapat kita rasakan.<br /><br />Wallahu a’lam<br /><br /><br /></div>islamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7638885806621394676.post-62421881786762800502010-02-16T09:46:00.000-08:002010-02-16T09:47:50.096-08:00Kenapa Harus Menikah ??Berikut beberapa alasan mengapa harus menikah, semoga bisa memotivasi kaum muslimin untuk memeriahkan dunia dengan nikah.<br /><br />1. Melengkapi agamanya<br />“Barang siapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi. (HR. Thabrani dan Hakim).<br /><div class="fullpost">2. Menjaga kehormatan diri<br />“Wahai para pemuda! Barang siapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih mudah menundukkan pandangan dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya. (HSR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasaiy, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).<br /><br />3. Senda guraunya suami-istri bukanlah perbuatan sia-sia<br />“Segala sesuatu yang di dalamnya tidak mengandung dzikrullah merupakan perbuatan sia-sia, senda gurau, dan permainan, kecuali empat (perkara), yaitu senda gurau suami dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan renang.” (Buku Adab Az Zifaf Al Albani hal 245; Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah no. 309).<br /><br />Hidup berkeluarga merupakan ladang meraih pahala<br />4. Bersetubuh dengan istri termasuk sedekah<br />Pernah ada beberapa shahabat Nabi SAW berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka bisa shalat sebagaimana kami shalat; mereka bisa berpuasa sebagaimana kami berpuasa; bahkan mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Beliau bersabda, “Bukankah Allah telah memberikan kepada kalian sesuatu yang bisa kalian sedekahkan? Pada tiap-tiap ucapan tasbih terdapat sedekah; (pada tiap-tiap ucapan takbir terdapat sedekah; pada tiap-tiap ucapan tahlil terdapat sedekah; pada tiap-tiap ucapan tahmid terdapat sedekah); memerintahkan perbuatan baik adalah sedekah; mencegah perbuatan munkar adalah sedekah; dan kalian bersetubuh dengan istri pun sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kok bisa salah seorang dari kami melampiaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?” Beliau menjawab, “Bagaimana menurut kalian bila nafsu syahwatnya itu dia salurkan pada tempat yang haram, apakah dia akan mendapatkan dosa dengan sebab perbuatannya itu?” (Mereka menjawab, “Ya, tentu.” Beliau bersabda,) “Demikian pula bila dia salurkan syahwatnya itu pada tempat yang halal, dia pun akan mendapatkan pahala.” (Beliau kemudian menyebutkan beberapa hal lagi yang beliau padankan masing-masingnya dengan sebuah sedekah, lalu beliau bersabda, “Semua itu bisa digantikan cukup dengan shalat dua raka’at Dhuha.”) (Buku Adab Az Zifaf Al Albani hal 125).<br /><br />5. Adanya saling nasehat-menasehati<br /><br />6. Bisa mendakwahi orang yang dicintai<br /><br />7. Pahala memberi contoh yang baik<br />“Siapa saja yang pertama memberi contoh perilaku yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahala kebaikannya dan mendapatkan pahala orang-orang yang meniru perbuatannya itu tanpa dikurangi sedikit pun. Dan barang siapa yang pertama memberi contoh perilaku jelek dalam Islam, maka ia mendapatkan dosa kejahatan itu dan mendapatkan dosa orang yang meniru perbuatannya tanpa dikurangi sedikit pun.” (HR. Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Orang yang pertama kali melakukan kebaikan atau kejahatan.)<br /><br />Bagaimana menurut Anda bila ada seorang kepala keluarga yang memberi contoh perbuatan yang baik bagi keluarganya dan ditiru oleh istri dan anak-anaknya? Demikian juga sebaliknya bila seorang kepala keluarga memberi contoh yang jelek bagi keluarganya?<br /><br />8. Seorang suami memberikan nafkah, makan, minum, dan pakaian kepada istrinya dan keluarganya akan terhitung sedekah yang paling utama. Dan akan diganti oleh Allah, ini janji Allah.<br />Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: “Satu dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang kamu nafkahkan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang kamu berikan kepada orang miskin dan satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu, maka yang paling besar pahalanya yaitu satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.” (HR Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga).<br /><br />Dari Abu Abdullah (Abu Abdurrahman) Tsauban bin Bujdud., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Dinar yang paling utama adalah dinar yang dinafkahkan seseorang kepada keluarganya, dinar yang dinafkahkan untuk kendaraan di jalan Allah, dan dinar yang dinafkahkan untuk membantu teman seperjuangan di jalan Allah.” (HR. Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga).<br /><br />Seorang suami lebih utama menafkahkan hartanya kepada keluarganya daripada kepada yang lain karena beberapa alasan, diantaranya adalah nafkahnya kepada keluarganya adalah kewajiban dia, dan nafkah itu akan menimbulkan kecintaan kepadanya.<br /><br />Muawiyah bin Haidah RA., pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: ‘Wahai Rasulullah, apa hak istri terhadap salah seorang di antara kami?” Beliau menjawab dengan bersabda, “Berilah makan bila kamu makan dan berilah pakaian bila kamu berpakaian. Janganlah kamu menjelekkan wajahnya, janganlah kamu memukulnya, dan janganlah kamu memisahkannya kecuali di dalam rumah. Bagaimana kamu akan berbuat begitu terhadapnya, sementara sebagian dari kamu telah bergaul dengan mereka, kecuali kalau hal itu telah dihalalkan terhadap mereka.” (Adab Az Zifaf Syaikh Albani hal 249).<br /><br />Dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA., dalam hadits yang panjang yang kami tulis pada bab niat, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Sesungguhnya apa saja yang kamu nafkahkan dengan maksud kamu mencari keridhaan Allah, niscaya kamu akan diberi pahala sampai apa saja yang kamu sediakan untuk istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga)<br /><br />Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang cukup dianggap berdosa apabila ia menyianyiaka orang yang harus diberi belanja.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga).<br /><br />Dan akan diganti oleh Allah, ini janji Allah<br /><br />“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya.” (Saba’: 39).<br /><br />Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Setiap pagi ada dua malaikat yang datang kepada seseorang, yang satu berdoa: “Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya.” Dan yang lain berdoa: “Ya Allah, binasakanlah harta orang yang kikir.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga).<br /><br /><br />9. Seorang pria yang menikahi janda yang mempunyai anak, berarti ikut memelihara anak yatim<br /><br /><br />Janji Allah berupa pertolongan-Nya bagi mereka yang menikah.<br />1. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (An Nur: 32)<br />2. Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya. (HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160)<br /><br /><br /><br /></div>islamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7638885806621394676.post-91321470244408353062010-02-16T09:27:00.001-08:002010-02-16T09:28:39.775-08:00Anugerah-Nya yang TerabaikanOrang yang akan melakukan perjalanan jauh pasti akan menyiapkan perbekalan yang cukup. Lihatlah misalnya orang yang hendak menunaikan ibadah haji. Terkadang ia mengumpulkan harta dan perbekalan sekian tahun lamanya. Padahal itu berlangsung sebentar, hanya beberapa hari saja. Maka mengapa untuk suatu perjalanan yang tidak pernah ada akhirnya –yakni perjalanan akhirat- kita tidak berbekal diri dengan ketaatan ?! Padahal kita yakin bahwa kehidupan dunia hanyalah bagaikan tempat penyeberangan untuk sampai kehidupan yang kekal nan abadi yaitu kehidupan akhirat. Di mana manusia terbagi menjadi: ashabul jannah (penghuni surga) dan ashabul jahim (penghuni neraka).<div class="fullpost">Itulah hakikat perjalananmanusiaa di dunia ini. Maka sudah semestinya kita mengisi waktu dna sisa umur yang ada dengan berbekal amal kebaikan untuk menghadapi kehidupan yang panjang. Allah berfirman yang artinya:<br /><br />“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”<br />(QS. Al-Hasyr’: 18)<br /><br />Ibnu Katsir rahimahullah berkata,<br />“Hisablah diri kalian sebelum dihisab, perhatikanlah apa yang sudah kalian simpan dari amal shalih untuk hari kebangkitan serta (yang akan) dipaparkan kepada Rabb kalian.”<br />(Taisir Al-‘Aliyil Qadir, 4/339)<br /><br />Umur Bukan Pemberian Cuma-Cuma<br />Waktu adalah sesuatu yang terpenting untuk diperhatikan. Jika ia berlalu tak akan kembali. Setiap hari dari waktu kta berlalu, berarti ajal semakin dekat. Umur merupakan nikmat yang seseorang akan ditanya tentangnya. Nabi bersabda yang artinya:<br /><br />“Tidak akan bergeser kaki manusia di hari kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya darimana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari yang ia ketahui (ilmu).”<br />(HR. At-Tirmidzi dari jalan Ibnu Mas’ud radliyallahu anha. Lihat Ash-Shahihah, no. 946)<br /><br /><br />Jangan Menunda-nunda Beramal<br />Mungkin kita sering mendengar orang mengatakan:<br />“Mumpung masih muda kita puas-puaskan berbuat maksiat, gampang kalau sudah tua kita sadar.”<br /><br />Sungguh betapa kejinya ucapan ini. Apakah dia tahu kalau umurnya akan panjang ? Kalau seandainya dia ditakdirkan panjang, apa ada jaminan dia akan sadar ? Atau justru akan bertambah kesesatannya ?! Allah berfirman yang artinya:<br /><br />“Dan tiada yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”<br />(QS. Luqman: 34)<br /><br />Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:<br />“Sesungguhnya angan-angan adalah modal utama orang-orang yang bangkrut.”<br />(Ma’alim fi Thariqi ‘Ilmi hal. 32)<br /><br />“Apabila engkau berada di waktu sore janganlah menunggu (menunda beramal) di waktu pagi. Dan jika berada di waktu pagi , janganlah menunda (beramal) di waktu sore. Gunakanlah masa sehatmu untuk masa sakitmu dan kesempatan hidupmu untuk saat kematianmu.”<br />(HR. Al-Bukhari no. 6416)<br /><br />Selagi kesempatan masih diberikan, jangan menunda-nunda lagi. Akankah seseorang menunda hingga apabila ajal menjemput, betis bertaut dengan betis, sementara lisanpun telah kaku dan tubuh tidak bisa lagi digerakkan ? Dan ia pun menyesali umur yang telah dilalui tanpa bekal untuk suatu kehidupan yang panjang ?! Allah berfirman menjelaskan penyesalan orang-orang kafir ketika datang kematian.<br />“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Rabbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan. ‘Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja.”<br />(QS. Al-Mu’minun: 99-100)<br /><br />Umur Umat Ini<br />Allah telah menakdirkan bahwa umur umat ini tidak sepanjang umur umat terdahulu. Yang demikian mengandung hikmah yang terkadang tidak diketahui oleh hamba. Nabi bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah:<br />“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70, dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.”<br />(Dihasankan sanadnya oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari, 11/240)<br /><br />Maksud dari hadits ini adalah bahwa keumuman ajal umat ini antara umur 60 hingga 70 tahun. Dengan bukti keadaan yang bisa disaksikan. Di mana di antara umat ini ada yang (mati) sebelum mencapai umur 60 tahun. Ini termasuk dari rahmat Allah dan kasih sayang-Nya supaya umat ini tidak terlibat dengan kehidupan dunia kecuali sebentar. Karena umur, badan, dan rizki umat-umat terdahulu lebih besar sekian kali lipat dibandingkan umat ini.<br /><br />Dahulu ada yang diberi umur hingga seribu tahun, panjang tubuhnya mencapai lebih dari 80 hasta atau kurang. Satu biji gandum besarnya seperti pinggang sapi. Satu delima diangkat oleh sepuluh orang. Mereka mengambil dari kehidupan dunia sesuai dengan jasad dan umur mereka. Namun mereka sombong dan berpaling dari Allah. Sehingga manusia pun terus mengalami penurunan bentuk fisik, rizki, dan ajal.<br /><br />Sehingga menjadilah umat ini sebagai yang terakhir. Yang mengambil rizki sedikit dengan badan yang lemah dan pada masa yang pendek. Supaya mereka tidak menyombongkan diri. Ini termasuk dari kasih sayang Allah terhadap mereka. Demikian makna ucapan Al-Imam Ath-Thibi rahimahullah seperti dalam Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir (2/15).<br /><br /><br /></div>islamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7638885806621394676.post-21465472100621541972010-02-16T09:23:00.001-08:002010-02-16T10:35:10.508-08:00Silaturrahmi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGab7f7lFgyfE5Px__7eGwvZqjFYqVqT_HmMRuZkCAJxZOwPZUBr2HPvopI3I0y5CwEUzcRtftamaInu9cd1b8bC_hLvCJXT2lrpwtAFEpA_zjkF7XdyoYoET9TWUke4QLeHhZVm0E-PM/s1600-h/uncategorized-salaman.png"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 153px; height: 168px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGab7f7lFgyfE5Px__7eGwvZqjFYqVqT_HmMRuZkCAJxZOwPZUBr2HPvopI3I0y5CwEUzcRtftamaInu9cd1b8bC_hLvCJXT2lrpwtAFEpA_zjkF7XdyoYoET9TWUke4QLeHhZVm0E-PM/s320/uncategorized-salaman.png" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5438911584854461602" border="0" /></a><br />Shilah artinya Hubungan atau menghubungkan sedangkan ar-Rahm berasal dari Rahima-Yarhamu-Rahmun/ Rahmatan yang berarti lembut dan kasih sayang. Taraahamal-Qaumu artinya kaum itu saling berkasih sayang. Taraahama 'Alayhi berarti mendo'akan seseorang agar mendapat rahmat. Sehingga dengan pengertian ini seseorang dikatakan telah menjalin silaturrahmi apabila ia telah menjalin hubungan kasih sayang dalam kebaikan bukan dalam dosa dan kema'siatan.<br /><div class="fullpost">Selain itu kata ar-Rahm atau ar-Rahim juga mempunyai arti peranakan (rahim) atau kekerabatan yang masih ada pertalian darah (persaudaraan). Inilah keunikan Bahasa Arab, Satu kata saja sudah dapat menjelaskan definisinya sendiri tanpa bantuan kata-kata lain. Dengan demikian Shilaturrahmi atau Shilaturrahim secara bahasa adalah menjalin hubungan kasih sayang dengan saudara dan kerabat yang masih ada hubungan darah (senasab). Seseorang tidak dapat dikatakan menjalin hubungan silaturrahmi bila ia berkasih sayang dengan orang lain sementara saudara dan kerabatnya dia jadikan musuh. Islam dalam hal ini mengajarkan kepada kita tentang skala prioritas, yaitu dahulukanlah keluarga dan kaum kerabatmu baru kemudian orang lain. Hubungan baik dengan orang lain jangan sampai merusak hubungan kekeluargaan. Hubungan kasih sayang dengan istri jangan sampai merusak hubungan kita dengan orang tua dan saudara.<br /><br />Peliharalah Tali Silaturrahmi, maksudnya peliharalah hubungan kekeluargaan kamu. Jangan sampai kamu lupa dengan nasab kamu, orang tua kamu, saudara-saudara kamu dan kerabat-kerabat kamu. Setelah itu baru peliharalah hubungan kasih sayang dengan orang-orang mu`min sebagaimana dengan saudara sendiri.<br />Anjuran menjalin Silaturrahmi adalah anjuran untuk tidak melupakan nasab dan hubungan kekerabatan. Satu-satunya bangsa yang paling hebat dalam menjalankan silaturrahmi adalah bangsa Arab. Mengapa? Karena mereka tidak lupa nenek moyang mereka. Makanya mereka selalu mengaitkan nama mereka dengan bapak, dan kakek-kakek mereka ke atas. Oleh karena itu dalam nama mereka pasti ada istilah bin atau Ibnu yang artinya anak.<br />Nabi kita Muhammad Saw mengetahui nasabnya sampai beberapa generasi sebelumnya. Nasab beliau adalah Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdul- Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan.<br />Bukan hanya Nabi yang seperti itu, hampir seluruh orang-orang Arab mengetahui nasabnya masing-masing sampai beberapa generasi sebelumnya. Hubungan kekeluargaan dan persaudaraan diantara mereka sangat kuat. Allah menjadikan mereka sebagai contoh untuk diteladani. Lalu bagaimana dengan bangsa-bangsa lain dan bangsa kita yang kebanyakan mengetahui hanya sampai kakek dan buyut. Akibat pengetahuan nasab yang terbatas ini maka efeknya sangat memprihatinkan. Diantaranya tidak mengetahui saudaranya yang jauh, menganggap bahwa dirinya tidak punya saudara, tidak mendapat bantuan dan pertolongan bila dirinya mengalami kesengsaraan, tidak punya tempat untuk mengadu dan meminta pertolongan kecuali orang lain. Akhirnya ujung-ujungnya timbullah kemiskinan, anak gelandangan, dan lain sebagainya. Padahal seandainya mereka mengetahui nasab mereka siapa tahu bahwa direktur perusahaan disamping gubuknya adalah saudaranya dari buyut kakeknya.<br />Inilah salah satu hikmah perintah bersilaturrahmi. Bersilaturrahmi atau menjalin hubungan kasih sayang yang kuat diantara saudara dan keluarga pihak kakek dan nenek ke atas. Kalau bisa kita menghafalnya sebagaimana bangsa Arab menghafal nasab-nasab mereka baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu.<br />Allah dalam al-Qur`an secara spesifik memerintahkan umat Islam untuk menjalin silaturrahmi/ silaturrahim;<br /><br />يَاأيّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَ بَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَ نِسَآءً وَاتَّقُوْا اللهَ الًّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَ الأرْحَامَ إنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْـبًا (النساء : 1)<br /><br />Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (an-Nisa`:1)<br /><br />Dari Miqdam ra bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:<br /><br />إنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ إنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِأبآئِكُمْ إنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِالْأَقْرَبِ فَالْأقْرَبِ<br /><br />Sesungguhnya Allah berwasiat agar kalian berbuat baik kepada ibu-ibumu, sesungguhnya Allah berwasiat agar berbuat baik kepada bapak-bapakmu dan sesungguhnya Allah berwasiat kepada kamu agar berbuat baik kepada sanak kerabatmu (Silsilah Hadits Shahih; al-Albani)<br /><br />Menyambung hubungan kekerabatan adalah wajib dan memutuskannya merupakan dosa besar. Dari Jubair bin Muth'im bahwa Nabi Saw bersabda:<br /><br />لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحْمٍ (متفق عليه)<br />Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan persaudaraan (Muttafaq 'Alaih)<br /><br />Silaturrahmi tidak hanya bagi saudara sedarah (senasab) tapi juga saudara seiman. Allah Swt memerintahkan agar kita menyambung hubungan baik dengan orang tua, saudara, kaum kerabat, dan orang-orang mu`min yang lain. Namun dalam hubungan silaturrahmi yang diutamakan adalah sanak famili yang masih ada hubungan darah (senasab) baru kemudian orang-orang beriman yang tidak ada hubungan darah dengan kita. Karena mereka-lah yang lebih dekat hubungannya dengan kita.<br /><br />Begitu juga apabila kita meminta bantuan maka yang lebih layak kita minta adalah sanak famili kita, baru kemudian orang lain. Karena mereka dan kita sama-sama punya hak dan kewajiban untuk saling tolong-menolong.<br />Di dalam Islam anjuran berinfak ditujukan kepada kaum kerabat kita yang miskin dulu baru kepada orang lain. Allah berfirman :<br /><br />... وَ أُوْلُوْا الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِيْ كِتَابِ اللهِ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُهَاجِرِيْنَ إلاَّ أنْ تَفْعَلُوْآ إلَى أوْلِيَآئِكُمْ مَّعْرُوْفًا ... (الأحزاب : 6)<br /><br />... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) menurut Kitab Allah daripada orang-orang Mukmin (lain) dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada mereka (saudaramu seiman)… (al-Ahzab: 6)<br /><br />Apabila manusia memutuskan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan. Maka ikatan sosial masyarakat akan hancur berantakan, kerusakan menyebar di setiap tempat, permusuhan terjadi dimana-mana, sifat egoisme muncul kepermukaan. Sehingga setiap individu masyarakat menjalani hidup tanpa petunjuk, seorang tetangga tidak mengetahui hak tetangganya, seorang faqir merasakan penderitaan dan kelaparan sendirian karena tidak ada yang peduli.<br />Dan jangan sampai kita memutuskan tali silaturrahmi hanya karena gara-gara pekerjaan dan jabatan. Silaturrahmi lebih tinggi nilainya dari itu semua. Allah berfirman :<br /><br />فَهَلْ عَسَيْتُمْ إنْ تَوَلَّيْتُمْ أنْ تُفْسِدُوْا فِي الأرْضِ وَتُقَطَِعُوْآ أرْحَامَكُمْ (محمد: 22)<br /><br />Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan (silaturrahim) ? (QS. Muhammad: 22)<br /><br />Kiat-Kiat Mempererat Hubungan Silaturrahmi<br /><br />1. Mendahulukan Sanak-Famili yang terdekat dalam segala kebaikan, terutama orang tua. Orang tua adalah kerabat terdekat yang mempunyai jasa tidak terhingga dan kasih sayang yang besar sehingga seorang anak wajib mencintai, menghormati dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya walaupun keduanya musyrik. Kedua orangtuanya berhak mendapat perlakuan baik di dunia namun bukan mengikuti kesyirikannya. Apabila mereka faqir maka kewajiban kitalah yang membantunya pertama kali. Kemudian saudara-saudara kita seperti paman dan bibi baru setelah itu orang lain yang seiman. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra dari Nabi Saw :<br /><br />أَمَّا شَعُرْتَ أَنَّ عَمَّ الرَّجُلِ صَنُوْ أبِيْهِ<br /><br />Apakah kamu tidak sadar bahwa paman seseorang adalah saudara bapaknya.<br /><br />2. Mengingat Kebaikan Sanak-Famili kita, tanpanya mungkin kita tidak akan berarti.<br /><br />3. Menghafal Nasab dan seluruh nama-nama saudara kita, dari mulai kakek dan nenek ke atas sampai kepada keturunan-keturunan mereka. Untuk hal ini sebaiknya kita membuat diagram silsilah keluarga agar dapat diingat oleh generasi berikutnya supaya mereka tetap melanjutkan tali silaturrahmi setelah kita tiada (meninggal).<br /><br />4. Jangan menyakiti, menzhalimi dan berbuat buruk kepada sanak-famili kita. Sebaiknya kita-lah yang menjadi solusi untuk memecahkan segala permasalahan mereka.<br /><br />Sesungguhnya orang-orang yang selalu menjaga tali silaturrahmi akan diberkahi oleh Allah dalam usahanya, rizki dan umurnya. Dari Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda :<br /><br />مَنْ أحَبَّ أنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَ يُنْسَأ لَهُ فِي أثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَه (متفق عليه)<br /><br />Barangsiapa yang senang diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya (diberkahi), maka hendaklah ia bersilaturrahmi (Muttafaq 'Alaih)<br /><br /><br /></div>islamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7638885806621394676.post-88729551097850127242010-02-16T09:06:00.000-08:002010-02-16T09:08:15.473-08:00Muhammad Sholallahu 'alaihi wasallam<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlJ0VzRHtNHAHUV9_b5xPCsnT_mTLoAb0tFtW2jOGdzdxlRvCw53xbN4TzufoII5fZEZfWgj4fdroTVu7LJjuwAaNHjyEWvebK0dD977h0fYD3zWKMS9frXGy7hCL2NNClaj3zSBYHVK0/s1600-h/muhammad.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 83px; height: 84px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlJ0VzRHtNHAHUV9_b5xPCsnT_mTLoAb0tFtW2jOGdzdxlRvCw53xbN4TzufoII5fZEZfWgj4fdroTVu7LJjuwAaNHjyEWvebK0dD977h0fYD3zWKMS9frXGy7hCL2NNClaj3zSBYHVK0/s320/muhammad.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5438889199519708594" border="0" /></a><br />Muhammad Sholallahu 'alaihi wasallam adalah pembawa ajaran Islam, dan diyakini oleh umat Muslim sebagai nabi Allah (Rasul) yang terakhir. Beliau lahir sekitar tahun 570 M di Mekkah (atau "Makkah") dan wafat sekitar pertengahan tahun 632 M di Madinah. Kedua kota tersebut terletak di daerah Hejaz (Arab Saudi saat ini). Beliau diriwayatkan memiliki 11 istri.<br /><br />"Muhammad" dalam bahasa Arab berarti "dia yang terpuji". Muslim mempercayai bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad Sholallahu 'alaihi wasallam adalah penyempurnaan dari agama-agama yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Mereka memanggilnya dengan gelar Rasulullah (رسول الله), dan menambahkan kalimat sallallaahu alayhi wasallam (صلى الله عليه و سلم, yang berarti "semoga Allah memberi kebahagiaan dan keselamatan kepadanya") setelah namanya. Selain itu Al-Qur'an dalam Surah As-Saff (QS 61:6) menyebut Muhammad dengan nama "Ahmad" (أحمد), yang dalam bahasa Arab juga berarti "terpuji".<div class="fullpost">Silsilah keluarga Nabi Muhammad Sholallahu 'alaihi wasallam<br />Silsilah Nabi Muhammad Sholallahu 'alaihi wasallam dari kedua orang tuanya kembali ke Kilab bin Murrah bin Ka'b bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr (Quraish) bin Malik bin an-Nadr (Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (Amir) bin Ilyas bin Mudar bin Nizar bin Ma`ad bin Adnan. Dimana Adnan merupakan keturunan laki-laki ke tujuh dari Ismail bin Ibrahim, yaitu keturunan Sam bin Nuh<br /><br />Beliau dilahirkan pada hari Senin bulan Rabi'ul Awal di Makkah Al Mukarramah tahun Al Fiil (571 M), berasal dari kedua orang tua yang sudah ma'ruf. Bapaknya bernama Abdullah bin Abdul Muthallib dan ibunya bernama Aminah binti Wahb. Kakek beliau memberinya nama Muhammad. Bapak beliau meninggal dunia sebelum kelahirannya.<br /><br />Nama dan Garis keturunan (Nasab) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:<br /><br />Allah Ta'ala berfirman: "Muhammad adalah Rasulullah." (QS. Al Fath:29)<br /><br />Rasullullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:<br />"Saya memiliki lima nama: Saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al-Mahi yang Allah menghapus kekufuran denganku, saya Al-Hasyir yang manusia dikumpulkan di atas kedua kakiku, dan saya Al-'Aqib yang tidak ada Nabipun setelahnya." (Muttafaq 'Alaih)<br /><br />Dan Allah menamakannya dengan "Raufur Rahim"<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengenalkan dirinya kepada kita dengan beberapa nama: "Saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al Muqaffy (Nabi terakhir) dan Al Hasyir, saya Nabi At Taubah, Nabi Ar Rahman." (HR. Muslim )<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:<br />"Tidaklah kamu heran bagaimana Allah memalingkan dari saya cacian orang-orang Quraisy dan laknat mereka? Mereka mencaci dan melaknat saya (dengan sesutu) yang sangat tercela, dan saya adalah Muhammad." (HR. Bukhari )<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :<br />"Sesungguhnya Allah telah memilih dari keturunan Ismail Kinayah, dan dari Kinayah Allah memilih Quraisy, dari Quraisy Allah memilih bani Hasyim, dan dari bani Hasyim Allah memilih saya." (HR. Muslim )<br /><br />Dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya:<br />"Namailah diri kalian dengan nama-nama saya, tapi janganlah kalian berkuniah (mengambil gelar) dengan kuniah saya. Karena sesungguhnya saya adalah Qasim sebagai pembagi diantara kalian." (HR. Muslim )<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Seolah-olah Kamu Melihatnya<br />Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling tampan wajahnya, paling bagus bentuk penciptaannya, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. (Muttafaq 'Alaih)<br /><br />Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkulit putih dan berwajah elok. (HR. Muslim)<br /><br />Bahwasanya badan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, dadanya bidang, jenggotnya lebat, rambutnya sampai ke daun telinga, saya (Shahabat-pent) pernah melihatnya berpakaian merah, dan saya tidak pernah melihat yang lebih indah dari padanya. (HR. Bukhari)<br /><br />Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepalanya besar, demikian juga kedua tangan dan kedua kakinya, serta tampan wajahnya. Saya (Shahabat-pent) belum pernah melihat orang yang seperti dia, baik sebelum maupun sesudahnya. (HR. Bukhari)<br /><br />Bahwasanya wajah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bundar bagaikan Matahari dan Bulan. (HR. Muslim)<br /><br />Bahwasanya apabila Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam gembira, wajahnya menjadi bercahaya seolah-olah seperti belaian Bulan, dan kami semua mengetahui yang demikian itu. (Muttafaq 'Alaih)<br /><br />Bahwasanya tidaklah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tertawa kecuali dengan senyum, dan apabila kamu memandangnya maka kamu akan menyangka bahwa beliau memakai celak pada kedua matanya, padahal beliau tidak memakai celak. (Hadits Hasan, Riwayat At Tirmidzi)<br /><br />Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata: "Tidak pernah saya melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tertawa terbahak-bahak sehingga kelihatan batas kerongkongannya. Akan tetapi tertawa beliau adalah dengan tersenyum." (HR. Bukhari)<br /><br />Dari Jabir bin Samrah Radhiyallahu 'anhu berkata: "Saya pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pada bulan purnama. Saya memandang beliau sambil memandang bulan. Beliau mengenakan pakaian merah. Maka menurut saya beliau lebih indah daripada bulan." (Dikeluarkan At Tirmidzi, dia berkata Hadits Hasan Gharib. Dan dishahihkan oleh Al Hakim serta disetujui oleh Adz-Dzahabi)<br /><br />Dan betapa indahnya ucapan seorang penyair yang mensifati Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan sya'irnya:<br /><br />"Si Putih diminta memohon hujan dari awan dengan wajahnya. Si Pemberi makan anak-anak yatim dan pelindung para janda."<br /><br />Sya'ir ini berasal dari kalamnya Abu Thalib yang disenandungkan oleh Ibnu Umar dan yang lain. Ketika itu kemarau melanda kaum muslimin, maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memohon hujan untuk mereka dengan berdo'a: Allahummasqinaa (Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami), maka turunlah hujan. (HR. Bukhari)<br /><br />Adapun makna dan sya'ir tersebut adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang disifati dengan Si Putih diminta untuk menghadapkan wajahnya yang mulia kepada Allah dan berdo'a supaya diturunkan hujan kepada mereka. Hal itu terjadi ketika beliau masih hidup, adapun setelah kematian beliau maka Khalifah Umar bin Al Khathab bertawasul dengan Al Abbas agar dia berdo'a meminta hujan dan mereka tidak bertawasul dengan beliau.<br />(Dikutip dengan perubahan yang disesuaikan dari: Mengenal Pribadi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam , Penulis: Syaikh Muhammad Jamil Zainu. Alih bahasa: Mukhlish Zuhdi. Penerbit Yayasan Al-Madinah, Shafar 1419 H, hal. 11-16)<br /><br /><br /></div>islamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7638885806621394676.post-32507829783180352572010-02-16T08:37:00.000-08:002010-02-16T09:20:28.870-08:00Memahami Surat Al-Falaq<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_jw3xHyhUvoxELaQDAy06HoEqwp2XB6exXoMw6XBnnlqLrSSXg5pw8xfvrZk27VVEmK8bCwrcIGFk3llXQlcH_bZEa5w1fqZ15enZO6mecpndEGvFh4l29iLX6D8WhbFo3esU2MCgBmU/s1600-h/rsz_quran_3.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_jw3xHyhUvoxELaQDAy06HoEqwp2XB6exXoMw6XBnnlqLrSSXg5pw8xfvrZk27VVEmK8bCwrcIGFk3llXQlcH_bZEa5w1fqZ15enZO6mecpndEGvFh4l29iLX6D8WhbFo3esU2MCgBmU/s320/rsz_quran_3.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5438881784054459746" border="0" /></a>Surat al-Falaq terdiri dari lima ayat dan tergolong makkiyyah (diturunkan sebelum hijrah). Bersama surat an-Nas, ia disebut al-Mu’awwidzatain. Disebut demikian karena keduanya mengandung ta’widz (perlindungan). Keduanya termasuk surat yang utama dalam Al-Qur’an. Keutamaan surat al-Falaq selalu disebut bersamaan dengan surat an-Nas.<div class="fullpost">Keutamaan al-Mu’awwidzatain<br /><br />Dalam Shahih-nya, Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br /><br />(( أَلَمْ تَرَ آيَاتٍ أُنْزِلَتْ اللَّيْلَةَ لَمْ يُرَ مِثْلُهُنَّ قَطُّ؟))<br /><br />“Tahukah engkau ayat-ayat yang telah diturunkan malam ini, tidak pernah ada yang menyerupainya sama sekali? Kemudian beliau mengatakan:<br /><br />قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وَقُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ<br /><br />Sedangkan at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu hadits berikut,<br /><br />((كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَعَوَّذُ مِنْ عَيْنِ الْجَانِّ وَعَيْنِ الإِنْسِ, فَلَمَّا نَزَلَتْ الْمُعَوِّذَتَانِ أَخَذَ بِهِمَا, وَتَرَكَ مَا سِوَى ذَلِكَ))<br /><br />“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari mata jahat jin dan manusia. Ketika turun al-Mu’awwidzatain, beliau memakainya dan meninggalkan yang lain. (dihukumi shahih oleh al-Albani)<br /><br />Kedua surat ini disunatkan dibaca setiap selesai shalat wajib. Dalam hadits lain, ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan,<br /><br />(( أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقْرَأَ بِالْمُعَوِّذَاتِ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ))<br /><br />“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan saya untuk membaca al-Mu’awwidzat tiap selesai shalat.” (HR. Abu Dawud, dihukumi shahih oleh al-Albani)<br /><br />Disunatkan juga membacanya sebelum dan sesudah tidur, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Uqbah yang lain:<br /><br />(( ياَ عُقْبَةُ ! اِقْرَأْ بِهِمَا كُلَّمَا نِمْتَ وَقُمْتَ، مَا سَأَلَ سَائِلٌ وَلاَ اِسْتَعَاذَ مُسْتَعِيْذٌ بِمِثْلِهِمَا))<br /><br />“Wahai ‘Uqbah, bacalah keduanya setiap kamu tidur dan bangun. Tidaklah seseorang bisa meminta atau berlindung dengan seperti keduanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah, dihukumi hasan oleh al-Albani)<br /><br />Hadits-hadits shahih juga menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan membacanya pada dzikir pagi dan sore. Beliau juga membacanya saat meruqyah diri beliau saat sakit dan disengat kalajengking. Demikian juga malaikat yang meruqyah beliau saat disihir Labid bin al-A’sham.<br /><br />Tafsir Surat al-Falaq<br /><br />قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ<br /><br />“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan (Penguasa) waktu Subuh.”<br /><br />Dalam bahasa Arab, al-falaq berarti sesuatu yang terbelah atau terpisah. Yang dimaksud dengan al-falaq dalam ayat ini adalah waktu subuh, karena makna inilah yang pertama kali terdetik dalam benak orang saat mendengar kata al-falaq. Ia disebut demikian karena seolah-olah terbelah dari waktu malam.<br /><br />Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk berlindung (isti’adzah) kepada Allah semata. Isti’adzah termasuk ibadah, karenanya tidak boleh dilakukan kepada selain Allah. Dia yang mampu menghilangkan kegelapan yang pekat dari seluruh alam raya di waktu subuh tentu mampu untuk melindungi para peminta perlindungan dari semua yang ditakutkan.<br /><br />مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ<br /><br />“Dari kejahatan apa-apa yang telah Dia ciptakan.”<br /><br />Ayat yang pendek ini mengandung isti’adzah dari kejahatan semua makhluk. Al-Hasan Al-Bashri berkata : “Jahannam dan iblis beserta keturunannya termasuk apa yang telah Dia ciptakan.” Kejahatan diri kita sendiri juga termasuk di dalamnya, bahkan ia yang pertama kali masuk dalam keumuman kata ini, sebagaimana dijelaskan Syaikh al-’Utsaimin. Hanya Allah yang bisa memberikan perlindungan dari semua kejahatan, karena semua makhluk di bawah kekuasaanNya.<br /><br />Setelah memohon perlindungan secara umum dari semua kejahatan, kita berlindung kepada Allah dari beberapa hal secara khusus pada ayat berikut; karena sering terjadi dan kejahatan berlebih yang ada padanya. Di samping itu, ketiga hal yang disebut khusus berikut ini juga merupakan hal-hal yang samar dan tidak tampak, sehingga lebih sulit dihindari.<br /><br />وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ<br /><br />“Dan dari kejahatan malam apabila telah masuk dalam kegelapan.”<br /><br />Kata ghasiq berarti malam, berasal dari kata ghasaq yang berarti kegelapan. Kata kerja waqaba mengandung makna masuk dan penuh, artinya sudah masuk dalam gelap gulita.<br /><br />Kita berlindung dari kejahatan malam secara khusus, karena kejahatan lebih banyak terjadi di malam hari. Banyak penjahat yang memilih melakukan aksinya di malam hari. Demikian pula arwah jahat dan binatang-binatang yang berbahaya. Di samping itu, menghindari bahaya juga lebih sulit dilakukan pada waktu malam.<br /><br />وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ<br /><br />“Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada tali-tali ikatan.”<br /><br />Para tukang sihir biasa membaca mantra dan jampi-jampi, kemudian mereka tiupkan pada tali-tali yang di ikat. Inilah yang di maksud dengan ruqyah syirik. Sihir merupakan salah satu dosa dan kejahatan terbesar, karena disamping syirik, ia juga samara dan bisa mencelakakan manusia di dunia dan akhirat. Karenanya kita berlindung secara khusus kepada Allah dari kejahatan ini.<br /><br />Penyebutan wanita tukang sihir dalam bentuk muannats (feminin) dikarenakan jenis sihir ini yang paling banyak melakukannya adalah wanita. Dalam riwayat tentang sihir Labid bin al-A’sham yang ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebutkan bahwa puteri-puteri Labid yang menghembus pada tali-tali.<br /><br />وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ<br /><br />“Dan dari kejahatan orang dengki apabila ia dengki.”<br /><br />Dengki (hasad) adalah membenci nikmat Allah atas orang lain dan menginginkan hilangnya nikmat itu darinya. Yang dimaksud dengan ‘apabila ia dengki’ adalah jika ia menunjukkan kedengkian yang ada di hatinya dan karenanya terbawa untuk membahayakan orang yang lain. Kondisi yang demikianlah yang membahayakan orang lain. Orang yang hasad akan menempuh cara yang bisa ditempuh untuk mewujudkan keinginannya. Hasad juga bisa menimbulkan mata jahat (‘ain) yang bisa membahayakan sasaran kedengkiannya. Pandangan mata dengkinya bisa mengakibatkan orang sakit, gila, bahkan meninggal. Barang yang dilihatnya juga bisa rusak atau tidak berfungsi. Karenanya, kitapun berlindung kepada Allah dari keburukan ini secara khusus.<br /><br />Ada juga orang dengki yang hanya menyimpan kedengkiannya dalam hati, sehingga ia sendiri gundah dan sakit hati, tapi tidak membahayakan orang lain, sebagaimana dikatakan Umar bin Abdil Aziz: “Saya tidak melihat orang zhalim yang lebih mirip dengan orang terzhalimi daripada orang yang dengki.”<br /><br />Jadi, untuk melindungi diri dari semua kejahatan kita harus menggantungkan hati kita dan berlindung hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa, dan membiasakan diri membaca dzikir yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini adalah salah satu wujud kesempurnaan agama Islam. Kejahatan begitu banyak pada zaman kita ini, sementara banyak umat Islam yang tidak tahu bagaimana cara melindungi diri darinya. Adapun yang sudah tahu banyak yang lalai, dan yang membacanya banyak yang tidak menghayati. Semua ini adalah bentuk kekurangan dalam beragama. Andai umat Islam memahami,mengamalkan dan menghayati sunnah ini, niscaya mereka terselamatkan dari berbagai kejahatan.<br /><br />Kesimpulan:<br /><br /> 1. Surat ini adalah surat yang utama, dan dianjurkan dibaca setelah shalat, sebelum dan sesudah tidur, dalam dzikir pagi dan sore, juga dalam ruqyah.<br /> 2. Kita memohon perlindungan hanya kepada Allah dari semua kejahatan secara umum, dan beberapa hal secara khusus karena lebih sering terjadi, lebih samar atau karena mengandung bahaya yang lebih.<br /> 3. Mewaspadai kejahatan malam, tukang sihir dan pendengki.<br /> 4. Sihir dan ‘ain adalah perkara yang hakiki.<br /> 5. Kesempurnaan agama Islam yang mengajarkan cara melindungi diri dari berbagai kejahatan.<br /> 6. Kekurangan sebagian umat Islam dalam memahami, mengamalkan dan menghayati ajaran Islam.<br /><br /><br /><br /></div>islamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7638885806621394676.post-15562387729715117392010-02-16T08:32:00.000-08:002010-02-16T09:20:28.871-08:00Taqwa, Semudah itu kah ??<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh67UPEg4rZf6y7Q5gJIBS-e4n4DrNS1fguTwnrkI49xSUa9XswfWZSusjKCtgHJGsqiGwX_Mv1bKCFTTKzhIbA3bI7o5ezDduzqC59SCzXE4rDQbwiaXFX3AGAPNq-7yWHdtkvu9BIZFk/s1600-h/masjidsunset.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 257px; height: 164px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh67UPEg4rZf6y7Q5gJIBS-e4n4DrNS1fguTwnrkI49xSUa9XswfWZSusjKCtgHJGsqiGwX_Mv1bKCFTTKzhIbA3bI7o5ezDduzqC59SCzXE4rDQbwiaXFX3AGAPNq-7yWHdtkvu9BIZFk/s320/masjidsunset.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5438880464900538514" border="0" /></a><br />Kata “takwa” sangat sering kita dengar dalam ceramah-ceramah agama, sebagaimana kalimat ini mudah dan ringan diucapkan di lisan kita. Akan tetapi, sudahkah hakikat kalimat ini terwujud dalam diri kita secara nyata? Sudahkah misalnya ciri-ciri orang yang bertakwa yang disebutkan dalam ayat berikut ini terealisasi dalam diri kita?<br /><br />الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ، وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ<br /><br /><div class="fullpost">“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui.” (Qs. Ali ‘Imran: 134-135)<br /><br />Maka mempraktekkan kalimat ini tidak semudah mengucapkannya, khususnya kalau kita mengetahui bahwa takwa yang sebenarnya adalah amalan hati dan bukan sekedar apa yang tampak pada anggota badan.<br /><br />Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takwa itu terletak di sini”, sambil beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke dada/hati beliau tiga kali[1].<br /><br />Di sinilah letak sulitnya merealisasikan takwa yang hakiki, kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala, karena kalau anggota badan mudah kita kuasai dan tampakkan amal baik padanya, maka tidak demikian keadaan hati, sebab hati manusia tidak ada seorangpun yang mampu menguasainya kecuali Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,<br /><br />وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ<br /><br />“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi (menghalangi) antara manusia dan hatinya.” (Qs. al-Anfaal: 24)<br /><br />Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya semua hati manusia berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman (Allah Ta’ala), seperti hati yang satu, yang Dia akan membolak-balikkan hati tersebut sesuai dengan kehendak-Nya”, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Wahai Allah Yang membolak-balikkan hati (manusia), palingkanlah hati kami untuk (selalu) taat kepad-Mu.” [2]<br /><br />Takwa yang Hakiki<br /><br />Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba hanyalah mampu melalui tahapan-tahapan perjalanan menuju (ridha) Allah dengan hati dan keinginannya yang kuat, bukan (cuma sekedar) dengan (perbuatan) anggota badannya. Dan takwa yang hakiki adalah takwa (dalam) hati dan bukan takwa (pada) anggota badan (saja). Allah Ta’ala berfirman,<br /><br />ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ<br /><br />“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar (perintah dan larangan) Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan (dalam) hati.” (Qs. al-Hajj: 32)<br /><br />(Dalam ayat lain) Allah berfirman,<br /><br />لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ<br /><br />“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Qs. al-Hajj: 32)<br /><br />Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br /><br />التقوى ههنا. ويشير إلى صدره ثلاث مرات.<br /><br />“Takwa itu (terletak) di sini”, dan beliau menunjuk ke dada (hati) beliau tiga kali[3], …[4]<br /><br />Imam an-Nawawi ketika menjelaskan makna hadits di atas, beliau berkata, “Artinya: Sesungguhnya amalan perbuatan yang tampak (pada anggota badan) tidaklah (mesti) menunjukkan adanya takwa (yang hakiki pada diri seseorang). Akan tetapi, takwa (yang sebenarnya) terwujud pada apa yang terdapat dalam hati (manusia), berupa pengagungan, ketakutan dan (selalu) merasakan pengawasan Allah Ta’ala.”[5]<br /><br />Makna takwa yang hakiki di atas sangatlah jelas, karena amal perbuatan yang tampak pada anggota badan manusia tidak mesti ditujukan untuk mencari ridha Allah Ta’ala semata. Lihatlah misalnya orang-orang munafik di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menampakkan Islam secara lahir, dengan tujuan untuk melindungi diri mereka dari kaum muslimin, padahal dalam hati mereka tersimpan kekafiran dan kebencian yang besar terhadap agama Islam. Allah Ta’ala berfirman:<br /><br />إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلاً<br /><br />“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah membalas tipu daya mereka, dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas-malasan, mereka bermaksud riya’/pamer (dengan shalat) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali.” (Qs. An-Nisaa’: 142)<br /><br />Demikianlah keadaan manusia dalam mengamalkan agama Islam secara lahir, tidak semua bertujuan untuk mencari ridha-Nya. Bahkan di antara mereka ada yang mengamalkan Islam hanya ketika dirasakan ada manfaat pribadi bagi dirinya, dan ketika dirasakan tidak ada manfaatnya maka dia langsung berpaling dari agama Islam.<br /><br />Mereka inilah yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala,<br /><br />وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ<br /><br />“Dan di antara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi (untuk memuaskan kepentingan pribadi), jika mendapatkan kebaikan (untuk dirinya), dia akan senang, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana/hilangnya nikmat, berbaliklah ia ke belakang (berpaling dari agama). Rugilah dia di dunia dan akhirat, yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Qs. al-Hajj: 11)<br /><br />Artinya: Dia masuk ke dalam agama Islam pada tepinya (tidak sepenuhnya), kalau dia mendapatkan apa yang diinginkannya maka dia akan bertahan, tapi kalau tidak didapatkannya maka dia akan berpaling[6].<br /><br />Beberapa Contoh Pengamalan Takwa yang Hakiki<br /><br />Beberapa contoh berikut ini merupakan pengamalan takwa yang hakiki, karena dilakukan semata-semata karena mencari ridha Allah dan bukan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan hawa nafsu.<br /><br />1- Firman Allah Ta’ala,<br /><br />الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ<br /><br />“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.” (Qs. Ali ‘Imran: 134)<br /><br />Ketiga perbuatan ini, berinfak/bersedekah dalam keadaan lapang maupun sempit, menahan kemarahan di saat kita mampu melampiaskannya dan memaafkan kesalahan orang yang berbuat salah kepada kita, adalah perbuatan yang bersumber dari ketakwaan hati dan bersih dari kepentingan pribadi serta memperturutkan hawa nafsu.<br /><br />2- Firman Allah Ta’ala,<br /><br />وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ على أَلاَّ تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى<br /><br />“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Qs. al-Maaidah: 8)<br /><br />Imam Ibnul Qayyim membawakan ucapan seorang ulama salaf yang menafsirkan sikap adil dalam ayat ini, beliau berkata, “Orang yang adil adalah orang yang ketika dia marah maka kemarahannya tidak menjerumuskannya ke dalam kesalahan, dan ketika dia senang maka kesenangannya tidak membuat dia menyimpang dari kebenaran.”[7]<br /><br />Kebanyakan orang bisa bersikap baik dan adil kepada orang lain ketika dia sedang senang dan ridha kepada orang tersebut, karena ini sesuai dengan kemauan hawa nafsunya. Tapi sikap baik dan adil meskipun dalam keadaan marah/benci kepada orang lain, hanya mampu dilakukan oleh orang yang memiliki ketakwaan dalam hatinya.<br /><br />3- Doa yang diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih:<br /><br />اللهم وأسألك خشيتك في الغيب والشهادة وأسألك كلمة الحق في الرضا والغضب وأسألك القصد في الفقر والغنى<br /><br />“Ya Allah, aku minta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu di waktu sendirian maupun di hadapan orang lain, dan aku minta kepada-Mu ucapan yang benar dalam keadaan senang maupun marah, dan aku minta kepada-Mu kesederhanaan di waktu miskin maupun kaya.”[8]<br /><br />Takut kepada Allah di waktu sendirian, ucapan yang benar dalam keadaan marah dan sikap sederhana di waktu kaya hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki takwa dalam hatinya.<br /><br />4- Ucapan Yahya bin Mu’adz ar-Raazi[9], “Cinta karena Allah yang hakiki adalah jika kecintaan itu tidak bertambah karena kebaikan (dalam masalah pribadi/dunia) dan tidak berkurang karena keburukan (dalam masalah pribadi/dunia)”[10]<br /><br />Cinta yang dipengaruhi dengan kebaikan/keburukan yang bersifat duniawai semata bukanlah cinta yang dilandasi ketakwaan dalam hati.<br /><br />Kiat untuk Mencapai Takwa yang Hakiki<br /><br />Berdasarkan keterangan para ulama ahlus sunnah, satu-satu cara untuk mewujudkan ketakwaan dalam hati, setelah berdoa kepada Allah Ta’ala, adalah dengan melakukan tazkiyatun nufus (pensucian jiwa/pembersihan hati), karena ketakwaan kepada Allah Ta’ala yang sebenarnya (ketakwaan dalam hati) tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan berusaha mensucikan dan membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran yang menghalangi seorang hamba untuk dekat kepada Allah Ta’ala.<br /><br />Allah Ta’ala Menjelaskan hal ini dalam firman-Nya,<br /><br />وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاها قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا<br /><br />“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan, Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (dengan ketakwaan), dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan kefasikan).” (Qs. Asy Syams: 7-10)<br /><br />Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau, “Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya.” [11]<br /><br />Imam Maimun bin Mihran[12] berkata, “Seorang hamba tidak akan mencapai takwa (yang hakiki) sehingga dia melakukan muhasabatun nafsi (introspeksi terhadap keinginan jiwa untuk mencapai kesucian jiwa) yang lebih ketat daripada seorang pedagang yang selalu mengawasi sekutu dagangnya (dalam masalah keuntungan dagang). Oleh karena itu ada yang mengatakan bahwa jiwa manusia itu ibaratnya seperti sekutu dagang yang suka berkhianat. Kalau Anda tidak selalu mengawasinya, dia akan pergi membawa hartamu (sebagaimana jiwa akan pergi membawa agamamu)”[13]<br /><br />Ketika menerangkan pentingnya pensucian jiwa ini, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata, “Orang-orang yang menempuh jalan (untuk mencari keridhaan) Allah, meskipun jalan dan metode yang mereka tempuh berbeda-beda, (akan tetapi) mereka sepakat (mengatakan) bahwa nafsu (jiwa) manusia adalah penghalang (utama) bagi hatinya untuk sampai kepada (ridha) Allah (sehingga) seorang hamba tidak (akan) mencapai (kedekatan) kepada Allah kecuali setelah dia (berusaha) menentang dan menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nufus).” [14]<br /><br />Kemudian, pensucian jiwa yang benar hanyalah dapat dicapai dengan memahami dan mengamalkan petunjuk Allah dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br /><br />Allah Ta’ala menjelaskan salah satu fungsi utama diturunkannya Al Qur-an, yaitu membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya, dalam firman-Nya,<br /><br />أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَداً رَابِياً وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ<br /><br />“Allah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka aliran air itu itu membawa buih yang mengambang (di permukaan air). Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasaan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu.Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak berguna; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (Qs. Ar Ra’d: 17)<br /><br />Ketika menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnul Qayyim berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala mengumpamakan ilmu yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan air (hujan), karena keduanya membawa kehidupan dan manfaat bagi manusia dalam kehidupan mereka di dunia dan akhirat. Kemudian Allah mengumpamakan hati manusia dengan lembah (sungai, danau dan lain-lain), hati yang lapang (karena bersih dari kotoran) akan mampu menampung ilmu yang banyak sebagaimana lembah yang luas mampu menampung air yang banyak, dan hati yang sempit (karena dipenuhi kotoran) hanya mampu menampung ilmu yang sedikit sebagaimana lembah yang sempit hanya mampu menampung air yang sedikit, Allah berfirman (yang artinya), “…Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya (daya tampungnya).” (Kemudian Allah berfirman yang artinya), “…Maka aliran air itu itu membawa buih yang mengambang (di permukaan air).” Ini adalah perumpamaan yang Allah sebutkan bagi ilmu (wahyu dari-Nya) ketika kemanisan ilmu tersebut masuk dan meresap ke dalam hati manusia, maka ilmu tersebut akan mengeluarkan (membersihkan) dari hati manusia buih (kotoran) syubhat (kerancuan dalam memahami dan mengamalkan agama) yang merusak sehingga kotoran tersebut akan mengambang (tidak menetap) di permukaan hati, sebagaimana aliran air akan mengeluarkan kotoran dari lembah sehingga kotoran tersebut akan mengambang di permukaan air. Dan Allah Ta’ala mengabarkan bahwa kotoran tersebut mengambang dan mengapung di atas permukaan air, tidak menetap (dengan kuat) di atas tanah. Demikian pula (keadaan kotoran) syubhat yang rusak ketika ilmu mengeluarkan (membersihkan)nya (dari hati), syubhat tersebut akan mengambang dan mengapung di atas permukaan hati, tidak menetap dalam hati, bahkan (kemudian) akan dibuang dan disingkirkan (dari hati), sehingga (pada akhirnya) yang menetap pada hati tersebut adalah petunjuk (ilmu) dan agama yang benar (amal shaleh) yang bermanfaat yang bermanfaat bagi orang tersebut dan orang lain, sebagaimana yang akan menetap pada lembah adalah air yang jernih dan buih (kotoran) akan tersingkirkan sebagai sesuatu yang tidak berguna. Tidaklah mampu (memahami) perumpaan-perumpaan dari Allah kecuali orang-orang yang berilmu.” [15]<br /><br />Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mempertegas perumpaan di atas dalam sabda beliau, “Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah wahyukan kepadaku seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…”[16]<br /><br />Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Baari membawakan ucapan para ulama dalam menerangkan makna hadits ini, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perumpamaan bagi agama yang beliau bawa (dari Allah) seperti air hujan (yang baik) yang merata dan turun ketika manusia (sangat) membutuhkannya, seperti itu jugalah keadaan manusia sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sebagaimana air hujan tersebut memberi kehidupan (baru) bagi negeri yang mati (kering dan tandus), demikian pula ilmu agama akan memberi kehidupan bagi hati yang mati…” [17]<br /><br />Oleh karena itulah, Imam Ibnul Jauzi di sela-sela sanggahan beliau terhadap sebagian orang-orang ahli tasawuf yang mengatakan bahwa ilmu tentang syariat Islam tidak diperlukan untuk mencapai kebersihan hati dan kesucian jiwa, beliau berkata, “Ketahuilah bahwa hati manusia tidak (mungkin) terus (dalam keadaan) bersih. Akan tetapi (suatu saat mesti) akan bernoda (karena dosa dan maksiat), maka (pada waktu itu) dibutuhkan pembersih (hati), dan pembersih hati itu adalah menelaah kitab-kitab ilmu (agama untuk memahami dan mengamalkannya)” [18]<br /><br />Penutup<br /><br />Setelah membaca tulisan di atas, jelaslah bagi kita bagaimana pentingnya mengkaji dan memahami ilmu agama, karena inilah satu-satunya cara untuk meraih kemuliaan tingi dalam agama, yaitu ketakwaan hati dan kesucian jiwa. Oleh karena itu, sangat wajar kalau kita dapati para ulama Ahlus Sunnah menggambarkan kebutuhan manusia terhadap ilmu agama melebihi besarnya kebutuhan mereka terhadap semua kebutuan pokok dalam kehidupan mereka.<br />Alangkah indahnya ucapan Imam Ahmad bin Hambal, Imam ahlus Sunnah di jamannya, ketika menggambarkan kebutuhan manusia terhadap ilmu agama ini dalam ucapan beliau yang terkenal: “Kebutuhan manusia terhadap ilmu (agama) melebihi besarnya kebutuhan mereka terhadap makan dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan sekali atau dua kali dalam sehari, adapun ilmu (agama) dibutuhkan (sesuai) dengan hitungan nafas manusia (setiap waktu).” [19]<br /><br />Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa:<br />Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwa-jiwa kami semua ketakwaannya,<br />dan sucikanlah jiwa kami (dengan ketakwaan itu),<br />Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya,<br />(dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya.<br /><br />وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين<br /><br />Kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 13 Ramadhan 1430 H<br /><br /><br /></div>islamkuhttp://www.blogger.com/profile/14722309553161638658noreply@blogger.com0